You Are Enough

8 0 0
                                    

"Ell!!!!" Jenia dan Ifa datang dari kejauhan mendekatiku dibangku depan kelas.

"Ya ampun Jen, ga perlu teriak-teriak kenapa sih?" Aku kesal dengan tingkahnya.

"Kebiasaan el, kuping gue sampe pengang." Ifa juga menggerutu di sebelah ku.

"Sorry, sorry." Sekarang Jenia menatapku heran. "Kenapa?" tanyaku.

"Kemarin lo kemana? Gue cariin dirumah kaga ada orang."

"Ohh, gue jalan ama Juna."

Terlihat setelah aku merapalkan nama Juna, raut Jenia sedikit berubah dan menghela napas panjang. Entah dia masih ada dendam tersendiri atau hal lainnya.

"Gue kira lo diculik." Ujar Jenia melas.

"Lo kira gue anak umur 5 tahun? Yang dikasih permen ama om om trus ngikut. Gue udah gede ya Jen." Jenia tertawa cekikikan.

"Tapi siapa tau lo ngikut sug sug, apa tuh.. Yang Daddy daddy ituhh." Ifa semakin membuatku kesal dan membuat Jenia tertawa lepas.

"Sugar Daddy Fa... Ha Ha Ha Ha.." Melihat kepolosan Ifa yang tak berubah serta tawa Jenia yang lebar membuatku mengingat dulu saat pertemuan pertama kita.

Ngomong-ngomong soal ini, aku jadi teringat dengan Clara. Setelah perpisahan hari itu, aku dan dia semakin menjadi lebih dekat dengan bertukar pesan ataupun vidcall. Tentu saja diam-diam agar Alva tidak mengetahuinya.

Clara terus menyakinkanku bahwa keadaannya baik-baik saja, bahkan calon buah hatinya. Sepertinya Alva benar ingin bertanggungjawab atas semua kesalahannya.

Alva bisa menjadi orang yang sangat keji disaat apa yang ia inginkan tidak bisa terpenuhi, tapi ia juga bisa menjadi orang yang baiknya setengah mati demi apapun yang ia cintai.

Jenia dan Ifa yang sudah mengetahui masalah ini juga tidak bertindak apa-apa, karena kita sudah berusaha mencari alamat atau apapun itu dan nihil tidak ketemu sama sekali. Karena kesibukan masing-masing, kita memutuskan untuk mencari informasi dengan seiring berjalannya waktu dan selagi Clara baik-baik saja aku bisa menghela napas dan aku percaya kepada Alva bahwa dia akan menjaganya.

"Woi! Malah ngelamun, udah bel nih.." Jenia menyadarkanku, semoga kelas hari ini berjalan semestinya.

Pukul 17.00 yang artinya aku harus bergegas pergi ke minimarket untuk bekerja. Sesampainya disana, aku melihat Nathan yang baru saja datang dengan motornya.

"Nathan!!" Aku berjalan cepat mendekatinya dan dia tersenyum manis kepadaku.

"Baru sampe juga?" Tanyanya dan aku balas dengan anggukan.

Kita berdua masuk kedalam, mengecek barang, merapikan, melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaan.

"Nih makan.." Nathan memberiku kotak makan yang didalamnya terdapat 2 sandwich.

"Buat gue?"

"Iya, buat siapa lagi. Lo pasti belum makan." Benar saja, tadi sepulang sekolah aku tidak pulang kerumah.

Setelah makan aku menjaga kasir dan Nathan masih lanjut mengecek barang-barang. Dari luar toko aku melihat ada seseorang yang berjalan seperti tergesa-gesa, dan karena tidak asing dengan perawakan tubuhnya. Aku menjadi was-was.

Benar saja, orang itu adalah Haidar Pratama Papaku. Beliau membuka pintu toko dengan kasar dan berjalan ke arah kasir. Nathan yang kaget segera mendekat kearahku.

"Papa?" Aku berusaha untuk mengatur napas.

"Pulang." Ia mencengkram dan menarik tanganku keras.

Nathan yang melihat itu lantas berusaha menenangkan Papa. "Maaf om, ini ada apa ya? Kok main seret-seret orang sembarangan." Papa yang diajak bicarapun langsung menatap Nathan nyalang dan berkata, "Ini anak saya! Kamu tidak perlu ikut campur."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DIANTARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang