Delusi

293 27 27
                                    

Laju jeep yang kami kendarai nyaris tak menyentuh angka di bawah kecepatan minimal. Setelah mengemas asal-asalan barang bawaan, aku dan Kak Devis pergi tanpa berpamitan sama Bunda karena sedang tidak ada di rumah. Hanya menitipkan salam lewat Bik Inah. Setelahnya, Kak Devis segera ngacir dengan tergesa meninggalkan Bik Inah dengan wajah mengernyutkan dahi seolah-olah mempertanyakan kepergian kami yang terkesan mendadak.

Walaupun jalanan begitu luang, tak seharusnya orang disebelahku ini menginjak pedal gas tanpa memindahkan kaki untuk sejenak perlahan menyentuh rem. Meski aku percaya tidak akan terjadi apa-apa, namun rasa khawatir tentu saja ada. Apalagi dengan kondisinya yang sedang out of control seperti sekarang.

"Kurangi kecepatannya dong, Kak. Please!" Aku memohon. Entah berapa kali aku memintanya untuk menurunkan laju, tapi tetap saja diabaikannya.

"Diam." Responnya tanpa menatapku. Baru kali ini dia rela membiarkan waktunya tersita begitu banyak dengan memperlakukan aku seperti ini. Selalunya tak lebih dari hitungan jam jika merajuk, akan luluh saat sudah ku bujuk.

Lagi, aku berusaha untuk berpikir positif saja. Meski dalam keadaan penuh amarah, aku yakin Kak Devis masih sehat tanpa berfikir ingin mencelakakan pacarnya.

"Ayolah, Kak. Jangan begini. Dewasalah dikit." Keluhku menanggapi kelakuannya sekarang.

"Bisa diam gak!"

Apa separah inikah yang sudah aku perbuat untuknya? Meski aku sendiri tak merasa pernah menduakannya. Sampai hati sekali Kak Devis tega membentakku seperti itu.

Tiba-tiba,

"Ciiitttt...!"

Dernyit rem mendadak melengking kencang. Dan tanpa adanya rasa bersalah, sopir sebelahku nyatanya hanya diam dengan tenangnya.

Aku sempat tersentak ke arah dasboard meski mengenakan seat belt sekalipun. Bayangkan saja jika aku tak taat aturan, entah bagaimana nasibku kini.

"Kak Devis mau kita mati?!" Teriakku gusar ketika mendapatinya berulah sedemikan rupa dan hal itu cukup membuatku ketar-ketir.

"Jika mati cara terbaik agar bisa bersamamu tanpa pengganggu, aku siap untuk itu." Jawabnya flat. Dan karena kedatarannya itulah yang membuatku seketika bergidik. Kini kami mulai bergerak lagi.

"Gak usah ngaco kalo ngomong!" Dengusku kesal. Kak Devis sedang dalam fase menyebalkan sekarang.

"Ada kucing lewat tadi." Balasnya.

"Bodo amat!" Pungkasku kesal.

Selanjutnya, perjalanan yang kami tempuh ini menghabiskan waktu sekitar lima jam lebih tanpa henti sama sekali kecuali traffic light dan tragedi kucing nyebrang. Dan selama itu pula kebersamaan kami tak berisi dialog konyol ataupun percakapan common lainnya.

Hari sudah larut malam. Setelah sampai tempat tujuan, kini Jeep sudah terparkir sembarangan di tanah lapang dekat barak utama. Menaruhnya asal-asalan seolah tahu akan ada yang membenarkan posisi mobil, Kak Devis sengaja tak melepas kuncinya. Setelah mematikan mesin, ia langsung meninggalkanku begitu saja.

Di belakangnya, aku hanya mengikuti kemana dia pergi. Seolah sedang menuruni bukit, Kak Devis begitu cepat langkah kakinya meninggalkanku yang berusaha mengimbangi gerak badannya.

Aku sangat yakin jika yang sedang ia cari adalah Mas Rival karena keberadaannya memang sedang ada disini juga yang sepertinya sebagai relawan sepertiku atau entah dari LSM mana. Dan aku khawatir jika adu buku tangan-lah yang akan Kak Devis lakukan.

"Kamu stay disini. Diam dan gak usah ikut campur. Paham!" Tegasnya. Lebih seperti membentak. Aku sedang tak melihatnya sebagai Kak Devis yang aku kenal. Apakah ini sisi lainnya sebagai prajurit? Memposisikanku sama dengan rekan kerjanya yang lain?

The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang