Untaian kereta yang memiliki titik keberangkatan dari Blitar menuju Bandung itu mulai bergerak perlahan. Hampir seluruh rangkaiannya terisi karena sudah berhenti di Stasiun Tugu Yogyakarta. Hanya beberapa kursi saja yang masih tak berpenghuni meskipun sudah ada pemiliknya yang masih belum ada di dalamnya.
Gerbong empat, kursi nomor 12D dan 12E. Terlihat dua orang pria yang sedang duduk bersandar dengan posisi ternyaman menurut versi mereka. Mirzha terlihat masih memejamkan matanya, meski ia sadar bahwa kereta sudah mulai bergerak maju. Sementara pria disebelahnya, bergeming kaku menatap ke arah depan.
Entah kebetulan atau sedang hoki, Mirzha dan Rival diuntungkan dengan kursi depan mereka yang masih kosong. Memungkinkan bagi keduanya untuk dapat sejenak meluruskan kaki. Sempat berdebat untuk memilih kereta eksekutif saja, namun Mirzha tetap kekeuh dengan pilihannya menggunakan kereta ekonomi meski Rival sudah berniat membelikannya secara percuma.
"Kamu sanggup duduk begini lama, Zha?" Rival mulai membuka suara ketika menyadari Mirzha sudah terbangun saat ia melihatnya sedang menghabiskan isi separuh botol air mineral.
Mirzha yang ingin melanjutkan tidurnya, masih dapat menangkap suara pria disebelahnya. Dengan tanpa membuka mata, ia masih bisa menjawabnya.
"Tentu. Sudah biasa naik kereta ini kalau mau pulang Bandung pun berangkat ke Jogja."
"Emmm... Apa bagus buat kesehatan duduk lama posisi begini? Gimana menurut pandangan seorang dokter?"
Sejak awal mereka duduk, Rival terus berusaha mencari topik obrolan. Karena ia tahu betul jika Mirzha seorang yang pasif dalam komunikasi jika dengannya.
"Duduk lama ga baik buat kesehatan, Mas." Jelas Mirzha tanpa memperhatikan sang penanya.
"I see."
"....."
Mirzha terdiam tak merespon. Namun kemudian,
"Pernah ngebis?" Rival bersuara kembali.
"Pastinya. Cuma karena jarang pulang jadi masih bisa dihitung jari." Masih, Mirzha menjawabnya tanpa melihat lawan bicaranya, dengan maksud agar Rival berhenti mengajaknya berdialog.
Rival mengangguk beberapa kali menanggapi responnya. Tak dipungkiri, ia masih berusaha menciptakan interaksi dengan Mirzha meski mendapati jawaban yang tak sesuai ekspektasi.
"Kalau dulu ke Semarang gimana, Zha?"
Mirzha tersadar. Matanya kembali terbuka dan langsung menatap orang disebelahnya. sorotannya tajam. Ia heran, sejak kapan seseorang yang duduk bersisian dengannya tahu kalau dirinya pernah tinggal di Semarang. Dengan segera, Mirzha langsung mengejar pertanyaan yang Rival layangkan.
"Waite a minute, kok tau aku pernah di Semarang?" Tanya Mirzha jengah dengan kernyitan didahinya. Rival sukses membuat Mirzha fokus kepadanya. Dan sekarang Rival merasa salah tingkah dan terpojokkan karena ucapannya.
"Engh maksudnya itu..." Suara Rival terbata-bata saat menjawab pertanyaan serangan dari Mirzha.
Dan kini keduanya saling beradu pandang. Tatapan mata keingintahuan Mirzha begitu kuat. Bagaimana orang asing yang belum lama dikenalnya terlalu detail mengetahui sesuatu yang belum pernah ia ceritakan sebelumnya.
"Maksudnya gimana, Mas?" Mirzha terus mengejar pertanyaan Rival. Dengan tanpa memberikan jeda waktu lama, kalimat Rival segera dipotongnya.
Rival segera memutar otaknya dengan cepat. Segera, ia langsung menyebut nama Defia sebagai tameng sementaranya.
"Defia!" Cetus Rival spontan dan sempat mengagetkan Mirzha ketika mengetahuinya.
"Ah, Defia. Iya dia yang bagi tahu, Zha." Terangnya lagi. Dengan tenang Rival segera mengatur gestur dan deru nafasnya yang sempat tak beraturan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]
Romancekelanjutan dari kisah AZKAR yang menceritakan perjalanan cinta seorang dokter muda bernama Mirzha dengan rasa tidak biasanya. dan kini, waktu membawanya singgah di Yogyakarta untuk menjalani internsip. di kota inilah ia mengalami kisah pelik yang m...