Unbreak My Heart

640 49 21
                                    

Esok hari,

setelah engkau kembali

Aku akan datang menemuimu.

Bercerita,

Betapa rindu hatiku.

Malam itu aku hanya sendiri,

Rindu hatiku semakin dalam...

Elvie Sukaesih - Bulan Diranting Cemara

Aku sedang berusaha menghitung luas bumi yang menurut nalarku tak bisa aku sentuh angkanya karena memang aku bukan anak geografi. Aku juga memaksakan kinerja otakku untuk sekedar menghitung kemungkinan dan peluang menggunakan ilmu probabilitas yang lagi-lagi aku tak pandai untuk menjawabnya karena jurusanku bukan matematika.

Kepalaku mendadak pusing karena tekanan otakku yang memaksakan untuk mencari alasan kenapa bisa kami dipertemukan disini, disaat seperti ini. Aku sadar betul bahwa ini rencana Tuhan yang memang tidak bisa aku tampik. Ini adalah suratan yang mampu membawaku kemari hingga berjumpa dengannya kini.

Seseorang dengan badan berisi dan wajah bersih yang tak berkurang ketampanannya -meski sudah terlihat sedikit agak gelap- berdiri lurus menghadapku. Persis hanya berjarak semeter. Sejak kapan aku mengukurnya? Sejak kewarasan tiba-tiba lenyap dari mindaku. Warasku menguap begitu saja saat menemukannya disini. Ini gila! Ini sungguh sangat gila.

Apakah kalian tahu yang pertama kali ia lakukan sekarang? Dia tersenyum. Berbinar matanya seakan telah mendapatkan berkat yang teramat dahsyat. Perlahan namun pasti, senyumnya merekah, memekar indah. Menunjukkan deretan gigi yang terawat dengan baik disana.

"Apa kabar, Dokter Mirzha?"

Kalimat pertamanya meluncur dari bibirnya. Lancar tanpa hambatan. Layaknya jalan tol Palimanan menuju Ciawi, kalimatnya ibarat keindahan dunia surgawi.

Posisiku masih belum berubah. Tanganku pun masih tak kenal lelah menenteng box besar berisi obat-obatan meski sisi lain ada yang membantuku untuk sekedar membagi beban.

"Kabar... baik..." Ucapku terbata sambil mencari gelar apa yang harus aku sematkan untuknya. Karena tidak mungkin sekali aku memanggilnya dengan sebutan "Kak". Dan nyatanya aku tak menemukan kata imbuhan dibelakang jawabanku barusan.

"Biar saya saja yang bantu bawa." Tukasnya untuk tentara yang sesaat tadi membantuku.

"Siap, jangan, Kapten! Biar saya saja!" Jawab si tentara dengan tegas dan terkesan teriak. Telinga kananku sempat pekak dan refleks kepala aku jauhkan dari sumber suara.

"Ini perintah!" Balasnya yang tak mau kalah keras. Sekarang kedua telingaku seimbang menerima suara bising setelah dia berteriak dekat telinga kiriku.

"Siap, Kapten!" Lalu posisi tentara yang membantuku sukses digantikan olehnya.

Wait a minute. Kapten? Apakah itu panggilan untuknya sekarang? Disini? Sesuai bidang pekerjaannya? Lalu mataku mengarah ke pundaknya. Aku baru sadar kalau di atasnya terdapat pangkat yang mengidentifikasikan kalau ia adalah seorang Kapten. Balok tiga warna kuning. Sedikit banyak aku paham tentang hal ini.

"Dokter Mirzha, ayo!" Ucapannya kembali membuyarkan lamunan sesaatku.

"Eh, iya..."

Sempat ada jeda beberapa detik, sampai akhirnya aku sambung

"Kapten." Lanjutku kemudian.

Lalu dengan pikiran yang lari kesana kemari dan hati yang bergejolak sendiri, kakiku tetap melangkah membawa box besar ini bersamanya. Aku masih belum bisa percaya jika seseorang disebelahku dengan seragam nan gagah itu ialah Dewa Pradevis Anggara. Seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak aku ketahui rimbanya.

The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang