Mengapa sulit untukku
bisa miliki hatimu.Bahkan selama ini hadirku
tak berharga untukmuYang terjadi kini, 'ku hanya rumah persinggahanmu disaat kau terluka
Dan disaat semuanya reda, kau menghilang begitu saja...
Fabio Asher - Rumah Singgah
Aku sudah menghabiskan sarapanku dan Mas Rival masih belum kembali ke dalam. Apakah ada suatu hal yang penting sehingga ia terlalu lama berada di luar untuk menjawab telepon? Aku bertanya dalam benakku sendiri, siapakah orang yang sedang diajaknya bicara? Sepenting dan segenting itu kah sampai harus selama ini? Atau karena telepon yang membuatnya kepayang? Bukannya ingin tahu, hanya saja jika itu bukan tentang hal yang urgent atau dari seseorang yang menurutnya spesial harusnya Mas Rival sudah kembali.
Aku jadi menebak sosok yang sedang berada diujung teleponnya. Apa mungkin sang kekasih dan mereka sedang saling melepas rindu? Atau jika memungkinkan, bisa jadi keluarganya yang ingin berdialog karena anak lelakinya jarang menelfon. Atau juga rekan bisnisnya Mas Rival yang ingin mengajaknya kerjasama hingga banyak hal yang perlu diobrolkan? Ah entahlah, yang jelas pikiranku tak bisa diam mendapatinya bersikap demikian. Dan harusnya juga aku tak bersikap demikian karena memang ini seluruhnya bukan urusanku.
"Maaf lama, Pak." Tak aku duga, sosoknya langsung muncul dan kembali sila di samping Bapak.
Mas Rival dengan raut muka yang seakan gugup setelah dari luar, sempat aku tanggapi dengan kerutan dahi.
"Tidak apa-apa, A. Ya sudah dilanjut lagi makannya. Bapak mau bersih-bersih dulu di belakang." Jawab Bapak yang langsung bangkit dari duduknya dengan membawa piring kosong bekas alas makannya.
"Baik, Pak." Tutup Mas Rival.
Dan sekarang tinggal aku dan Mas Rival yang masih duduk di depan TV. Ibuku sesaat tadi sudah pergi duluan ke dapur. Beberapa singkat waktu, kami berdua bergeming dengan menatap piring yang masih ada isinya.
Masih tertangkap gerak dari ekor mataku, Mas Rival tak benar-benar memakan makanan dihadapannya. Alih-alih ia suapkan ke mulutnya, ujung sendok hanya Mas Rival mainkan dengan tatapan lurus ke bawah.
"Lagi galau ya, Mas?" Sekalian saja aku senggol. Daripada aku mati penasaran atas apa yang menjadi penyebab ia bertingkah demikian.
"Eh... hmm enggak, Zha. Punya kamu sudah habis?"
"Yakin?" Aku mempertanyakan jawaban Mas Rival barusan. Sementara pertanyaannya aku abaikan karena sangat retoris sekali dengan kondisi yang bisa ia lihat sendiri, piringku sudah tanggal isinya.
Menanggapi jawabanku, ia hanya mengangguk. Dan setelahnya kembali diam dengan diiringi menyendok makanannya.
"Kalau ada apa-apa cerita aja, Mas."
"Iya, Zha. Thanks ya."
"Anytime."
Selanjutnya aku bangkit dari duduk dan langsung membawa piring kosongku ke belakang. Sementara Mas Rival melanjutkan kembali aktivitas sarapannya.
*
Matahari sedang beranjak meninggi. Pertanda siang akan segera tiba. Hangatnya pancaran sinar mentari yang aku rasakan tadi pagi mulai meningkat suhunya. Setelah mencuci piring tadi, aku langsung melanjutkan kegiatan mencuci baju dan menjemurkanya kemudian. Sementara Bapak kembali ke ladang dan Ibu sedang menyiapkan bahan masakan untuk lauk makan siang nanti.
Untuk mengisi waktu kosongku setelah selesai cuci baju, aku langsung beranjak menuju halaman depan rumah. Untuk selanjutnya menikmati me time-ku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]
Romansakelanjutan dari kisah AZKAR yang menceritakan perjalanan cinta seorang dokter muda bernama Mirzha dengan rasa tidak biasanya. dan kini, waktu membawanya singgah di Yogyakarta untuk menjalani internsip. di kota inilah ia mengalami kisah pelik yang m...