Year by Year (part 1)

264 28 15
                                    

Aku berjalan lesu meninggalkan pelataran rumah sakit. Membawa motor dengan kecepatan tak lebih dari balita yang berlari kegirangan ketika bertemu orangtuanya. Tak ada semangat rasanya untuk sekedar menarik tuas gas agar lebih laju jalannya.

Niat untuk bolos kerja juga begitu besar, ingin hati membelokkan motor ke arah jalan pulang menuju kos. Mengurung diri kemudian disana. Rasanya aku tak semangat menjalani aktivitas apapun hari ini. Kesedihan karena kehilangan Mas Rival sebagai satu-satunya orang yang sabar dengan sifat dan sikapku disaat seseorang yang aku begitu dambakan tak diketahui rimbanya.

Setelah hampir setengah jam aku menghabiskan perjalanan yang hanya sejauh tiga kilometer, motorku perlahan berhenti di pelataran puskesmas.

Sebagai dokter dengan sikap profesionalisme tinggi, akhirnya aku sejenak sisihkan rasa duka yang sedang aku rasakan. Menjalankan tugas mulia untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka yang membutuhkan lebih dari apapun buatku saat ini. Dan akhirnya, disinilah aku sekarang.

"Mas Dokter!"

Seseorang memanggilku. Defia setengah berlari dari parkiran kendaraan pegawai puskesmas yang seharusnya. Sementara aku posisikan motorku asal-asalan di tempat jalur keluar ambulance dari UGD.

"Iya, Def." Jawabku tak bernada. Jujur saja sekarang sedang tidak ingin berinteraksi dengan siapapun selain tentang pekerjaan.

"Kok masih disini? Kan shift Mas Dok udah selesai."

Aku termenung sebentar, lalu setelahnya melirik arloji. Ternyata shiftku habis setengah jam yang lalu. Dan itu bersamaan dengan shiftnya Defia.

"Sudah ada Dokter Mila di dalam." Lanjut Defia.

Oh ternyata si Mila sudah datang. Kebetulan shiftnya tepat setelah jadwal jagaku di UGD. Dengan adanya penggantiku sekarang, akhirnya aku bisa menindaklanjuti niatanku tadi di awal. Kali ini aku ingin pulang cepat rasanya.

"Makasih infonya, Def."

"Eh tapi bukannya kamu juga sudah habis shiftnya, Def?" Tanyaku heran kenapa malah dia masih berada di sini.

"Iya tadinya aku mau pulang. Eh charger handphone ketinggalan. Eh terus pas mau balik ke dalam, lihat Mas Dok disini. Yaudah sekalian deh aku." Paparnya beralasan. Aku hanya menyimak apa yang disampaikan Defia.

"Ya sudah kalau begitu, Def. Saya ke dalam dulu ya mau absen pulang." Pamitku meninggalkan Defia yang akan mengarah ke ruang pendaftaran.

"Hati-hati di jalan nanti, Mas Dok!"

"Kamu juga, Def!"

Lalu aku dan Defia sama-sama memisahkan diri. Kemudian aku segera menuju ke ruanganku untuk mengambil tas yang tadi sempat aku tinggalkan. Selagi jalan, tanganku merogoh ke dalam saku hoodie bagian depan, terdapat amplop surat wasiat milik Mas Rival yang ditujukan padaku. Tanpa aku keluarkan dari kantong, aku hanya meraba permukaan luarnya saja.

Sampainya di meja kerja, selanjutnya aku mengemas barang-barangku. Lalu tak lupa aku selipkan amplop itu ke dalam lipatan laptop untuk tetap menjaga bentuknya karena mungkin saja akan lusuh jika aku posisikan bersama benda lain di dalam tas.

"Mau pulang, Dok?"

Aku kaget, seseorang menyapaku dari ambang pintu yang sedang aku belakangi posisinya. Ternyata Mila. Titik fokusku sedang tak berfungsi saat ini.

"Eh kamu, Mila. Iya nih tinggal absen pulang aja. Kamu jaga sampai jam berapa hari ini?" Jawabku setelah menghadap ke arahnya.

"Sampai dini hari, Dok. Pas kebagian shift standby nih."

The Untold Story "ASTRA" [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang