[Dia berdiri di atas tebing, tepat dibawah kakinya desiran ombak laut terdengar bersahutan, angin menerpa wajah tampan nan rupawan itu sehingga surai pekatnya terhembus, kedua netra obsidian indahnya terpaku lurus kedepan. Bagaikan sebuah rumah tanpa sang pemilik dia tampak kosong dan terasa dingin, pikiran berkecamuk tak tahu apa yang tengah ia pikirkan—namun bibirnya terus-menerus bergumam kata yang sama dengan sangat lirih]
["Mengapa...?"]
[Lalu... Kedua mata itu terpejam dan perlahan tubuhnya tumbang, suara percikan air terdengar nyaring dan dia kembali membuka mata menatap sinar matahari yang perlahan mulai menghilang dari pandangan. Dia tenggelam... Dia mulai menuju dasar laut dengan harapan kecil yang tertanam di lubuk hatinya]
["Sekali lagi..." Dia mulai kehilangan kesadaran mengucapkan dua kata dalam batin sebagai akhirnya sebelum netra obsidian itu tertutup rapat]
[Byurrr!!]
[Seseorang mendekat sebuah tangan terulur... Meraih lengannya]
Drtttt... Drtttt...
"Ckk!" Decakan sebal terdengar dari mulut seorang pemuda yang kini tengah berkutat dengan laptop juga buku-bukunya.
Sejenak dia menghentikan aktivitas lalu meraih kasar ponselnya yang bergetar dan mengganggu semua konsentrasi. "Nih si bego..." Hardiknya saat melihat sebuah panggilan masuk, ia menjadi jengkel lalu menekan tombol hijau dengan kasar.
"He—"
"Bisa gak sih Lo jangan ganggu gue pas lagi serius-serius gini?!" Celetuknya menyela ucapan dari sang penelepon.
Terdengar sahutan dari seberang sana. "Hehe... Sorry sorry... Gue gak tau, btw emang Lo lagi ngapain sih? Sibuk bener keknya." Kalimat penuh penasaran itu membuat ia dua kali lebih jengkel hingga alisnya menukik tajam.
Dia adalah Raka Demira Herozein, seorang penulis yang lebih dikenal dengan sebutan Rakative dikalangan para penggemar juga pembaca karya-karyanya—sudah terhitung empat buah buku tulisannya tercetak dan selalu menjadi best seller di seluruh toko buku, jadi ia cukup terkenal. Dan yang meneleponnya ini adalah satu-satunya teman yang dia punya, Putra Anggarano Baskara sejak masih di bangku sekolah dasar.
Raka bersender di kursi masih dengan hati yang jengkel. "Gue lagi revisi! Lo kebiasaan banget sih nelepon gue! Janganlah nelepon gue terus! Ilang kan semua tuh ide gue jadinya! Bego kali lah Lo!" Hardik Raka mengomeli sang bestie seraya melempar pulpennya.
Namun, diseberang sana Putra hanya terkekeh tanpa dosa. "Sorry, Her. Lagian Lo dari bulan lalu sampe sekarang gak selesai-selesai, kapan mau dicetak coba tuh buku kalo Lo nya aja masih sibuk revisi. Apaan lagi sih emang yang kurang?"
"Au lah... Gue gak sreg aja sama jalan ceritanya..." Balas Raka malas, decakan terdengar dari Putra yang menyahut. "Udahlah mending Lo bikin tuh alur yang bahagia, jangan semua karakter Lo bikin sengsara gimana Lo gak sreg coba? MC Lo bikin depresi terus nyemplung ke laut, second male nya Lo bikin mati, cuma MC perempuannya doang yang Lo bikin santuy aja hidupnya padahal semua keluarganya di hukum aturan dia mah sedih malah happy ending bareng si MC. Kelainan keknya Lo nih, Her..." Jelasnya dari nada suara terdengar bahwa Putra tampak agak geram.
Helaan napas lelah terdengar dari Raka dia juga sebenarnya tidak tahu apa yang masih kurang dari bukunya yang satu ini, dia hanya merasa sangat kurang puas saja dengan hasilnya itulah mengapa dia berkali-kali selalu mengubah mentahan ceritanya walaupun diakhir hasil alurnya sama hanya berbeda sedikit-sedikit hanya dibeberapa bagian.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Greatest Revision For Unpublished Story
Historical Fiction"Hidup cuma sekali gak bisa Lo revisi kek buku jadi gunain kehidupan Lo sekarang dengan baik, masalah itu kan cobaan hidup, jangan mental yupi gitu dong malu Lo kan laki." Sang penulis datang hanya untuk mengerti kehidupan yang sebenarnya diinginkan...