Praha membuka pintu rumahnya dalam keadaan kuyup. Sebelumnya ia harus rela untuk pulang hujan-hujanan karena lupa membawa jas hujan. Tak apa, Praha justru bersyukur sebab ia mendapat kesempatan untuk menangis di tengah hujan. Akibatnya kini kedua matanya menjadi sembab, bukan hanya karena menangis, namun juga karena air hujan yang menghantam kuat. Ia tak menggunakan helm, sebab alat pengaman satu itu sudah keduluan basah, tak layak untuk digunakan.
Praha berjalan gontai mengambil handuknya. Saat ini ia masih mencoba bersikap baik-baik saja, ia sudah cukup meluapkan emosinya selama di jalan tadi. Seperti biasa, rumah yang tak besar ini akan selalu menyediakan keheningan untuk Praha. Dan ini adalah waktu yang tepat bagi Praha untuk diam, merengkuh semua keheningan itu dalam dekapannya.
Sebuah serangan notifikasi kemudian memaksa Praha untuk bertindak. Rupanya dari Edwin. Laki-laki itu agaknya khawatir, sebab sejak di parkiran tadi ia sudah menawarkan beragam bantuan untuk Praha, namun tetap saja laki-laki manis itu batu, keras kepala dan berujung pulang menerobos hujan.
EDWIN
Prahaa
Lo udahh sampai rumah?
Kalo udah cepetan ganti baju lo
Jangan sampai lo biarin kuyup gitu lama'
Nanti lo sakit, nggak bisa ikut ujian kann berabe
Minum air anget juga ya biar gak kedinginan
Atau mau gue peluk biar anget? <emot batu moai>
Praha tersenyum getir. Kawannya satu ini selalu punya caranya sendiri untuk menghibur dirinya. Andai gue nggak setakut itu untuk notice perasaan lo, Ed. Maaf karena gue cuma bisa pura-pura nggak tahu.
PRAHA
Iya gue udah sampai, ini lagi handukan
Makasi ya Ed, gue istirahat dulu
Praha mematikan ponselnya, kemudian bergegas mengganti pakaiannya dan langsung meringkuk di balik selimut. Ia ingin tidur. Ia ingin terbenam dalam sunyinya rumah ini. Ia ingin melupakan. Ia hanya ingin baik-baik saja, meski terkesan sedang membohongi diri sendiri, bukan?
"Percuma." Gumam Praha lirih.
Ia lelah. Lelah harus memulai monolog yang bertele-tele dan menyakitkan. Praha tahu sendiri bahwa ini adalah konsekuensi yang harus ditanggungnya, tentu akibat dari ekspetasinya yang melejit hanya karena sapaan alis dari orang yang ia suka.
Praha menarik selimutnya hingga menutupi kepala. Ia tidak suka keadaan ini. Ia ingin melupakan, ingin merasa baik-baik saja.
***
Hari keenam UAS. Masih dengan mood yang tidak stabil, Praha mencoba tetap tertawa ketika Edwin membuat lelucon. Laki-laki manis itu masih mencoba berpikir keras saat menjawab soal meski otaknya sendiri lebih banyak dikuasi kekalutan. Praha seketika saja benci dengan ruang 3 ini, benci dengan meja dan kursi di pojok depan itu. Benci dengan keadaan. Benci dengan dirinya sendiri.
Meski begitu, semuanya berlangsung baik-baik saja. Tidak ada hujan, tidak ada cerita masa lalunya, dan tentu tidak ada kisah sedih lainnya. Yang ada hanya Praha, sedang merutuk ekspetasinya pada lelaki bernama Akasa.
Besok adalah hari terakhir UAS, cukup lega sebetulnya sebab ia tak akan memiliki kesempatan lagi untuk melihat atau bertemu Akasa. Ia sudah cukup sakit karena menanggung harapan yang tak kunjung melandai, Praha sudah cukup sakit menjadi seorang secret admirer.
Di hari keenam, Praha berusaha untuk cepat-cepat minggat dari sekolah sebelum beradu pandang lagi dengan sepasang mata candu itu. Dengan wajah memelas dan semeyakinkan itu, Praha akhirnya berhasil membujuk Edwin untuk meninggalkan tugasnya menyiram tanaman di taman belakang.
KAMU SEDANG MEMBACA
[BxB] Playlist; SECRET ADMIRER
Teen Fiction⚠️WARNING!⚠️ Cerita ini bergenre boyslove, untuk yang anti bisa meninggalkan lapak ini. ☑️ [CERITA LENGKAP] Menjadi beda bukanlah sesuatu yang mudah. Bagi Praha, mencintai orang yang segender dengannya adalah sebuah beban, sebab ia tidak bisa bertin...