06 | Kau Prioritasku

7 0 0
                                    


Gadis yang Ajis bicarakan selama sepanjang perjalanan kami menyambut kedatangan di depan dengan ramah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis yang Ajis bicarakan selama sepanjang perjalanan kami menyambut kedatangan di depan dengan ramah. Bermodalkan pencahayaan dari keempat lampu di sudut lapangan, tempat ini jadi tidak sepenuhnya menyeramkan. Dua tenda besar dibangun di sisi lapangan yang aku pikir itu mungkin tempat KKN tinggal. Ditengah lapangan, api kemerahan menari-nari diatas tumpukan kayu bakar. Partikel halus dari abu api beterbangan di langit malam yang damai. Sinar hangat dari api menyapu halus wajah pria yang aku temui tadi, begitupula gadis disisinya ini.

"Hai!"

Ini Ajis yang menyapa. Kedatangan kami membuat seluruh mata menyorot kami dengan terpana. Di kegelapan malam seperti ini, aku tetap bisa melihat binar mata dari para gadis disini. Rahul menuntun Ayu pada temannya -lebih tepat dikatakan jika Rahul mengekori Ayu kemana 'pun dia pergi-Ajis, dia sibuk berbincang melalui pendekatan mengerikan pada gadis pujaan hatinya.

Aku ngeri melihat Ajis seperti laki-laki yang tidak tahu malu. Tapi gambaran yang Ajis utarakan sepanjang perjalanan memang tidak jauh dari kebenaran ketika aku melihatnya dengan langsung. Ajis gigih merangkai topik agar percakapan mereka terus berlanjut. Asli dari mana, apa kesukaannya, suka makan pedas atau tidak, itu pertanyaan yang sempat aku dengar sebelum perhatianku teralihkan pada gadis yang duduk di dekat api.

Dia adalah alasanku datang kemari.

Dia yang membuatku harus berlama-lama mandi.

Dia 'lah yang menjadikanku seperti ini.

"Ekhem."

Aku menghampirinya.

Walau kedua kakiku gemetar dan hatiku berteriak untuk pulanglah, Arya!

"Eh, Mas yang tadi!" pria yang duduk disebelahnya menatapku dengan antusias, padahal aku berharap gadis yang duduk disebelahnya 'lah yang seperti itu.

Aku memohon pada diriku yang paling dalam, berharap pada semesta jika dia bisa menoleh kearahku. Tidak perlu tersenyum, aku sama sekali tidak terburu-buru mendapatkan kebahagiaan sebesar itu. Aku hanya membutuhkanmu untuk menatap kearahku. Itu saja.

Dalam kelambatan yang aku amati setiap gerakan wajahnya menoleh kearahku. Kilatan api yang menyala-nyala menerpa wajahnya yang tersenyum kearahku penuh kehangatan. Anggukan lembutnya menyatu pada ikrarku yang bersumpah untuk mendapatkanmu.

Sungguh, aku tidak pernah merasa senang seperti ini, bahkan ketika gaji pertamaku cair, perasaan senang ini tidak membuncah sampai tumpah ruah di dalam diriku.

"Duduk, Mas." Ujar laki-laki itu menepuk bagian kayu kosong disebelahnya.

Aku berniat untuk duduk disebelah Arini, tapi kebahagiaan yang sebentar tadi tidak ingin ku rusak atas ketamakanku yang selalu meminta lebih selain itu. Satu baris dengan Arini, sudah membuatku senang walau ditengah kami ada laki-laki ini.

Kali ini aku tidak berpikir panjang mendudukkan pantatku diatas tanah yang jelas mengotori celanaku. Tapi aku tidak peduli akan itu. Manusia memang banyak mintanya. Tidak pernah merasa puas walau 'pun telah diberikan kenikmatan yang diinginkannya. Sifat manusia yang selalu meminta lebih itu membuat seseorang lupa akan rasa syukur yang telah diberikan dan begitulah aku. Aku yang ingin meminta lebih dari sekedar perhatian. Mendapatkan senyuman, aku menginginkan untuk membuat pembicaraan. Seperti Ajis yang sekarang duduk berseberangan dengan kami tengah memanggang ikan.

Mereka Semua Tidak TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang