08 | Dari Itu Aku Belajar Untuk Yakin

7 0 0
                                    


"Herman kalah dalam taruhannya sendiri

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Herman kalah dalam taruhannya sendiri. Dia berkata jika yang kalah harus berbicara pada orang yang berada di dalam hatinya. Jadi di dalam hati Herman ada kau yang dinginkan maafnya."

Perkataan Ajis tadi membuatku melamun panjang di teras rumah Rahul. Dengan sebatang rokok kretek tersulut dengan pematik api dan sepersekian detiknya asap putih menyembul keluar dari mulutku yang sedikit terbuka. Herman, sosok itu ada di kepalaku yang penuh dengan antusiasme wajahnya disebelah Arini tadi. Dia seakan benda tumpul dalam pikiranku yang nyaris tersiksa karena kecemburuan yang luar biasa. Bagaimana dia bisa bersendau gurau dengan Arini begitu mudahnya, sedangkan aku hanya duduk berbicara saja?

Dia memiliki kemistri dengan Arini.

Aku jauh tidak memilikinya sama sekali.

Aku mendengus melempar puntung rokok itu sembarangan. Sial. Hanya memikirkan Arini membuatku nekat untuk melompat ke depan pintu rumahnya yang tertutup. Bagaimana aku bisa cemburu pada pria yang tidak lain adalah adiknya? Aku benar-benar dibuat gila dengan Arini.

Dalam tidurku yang sulit, aku terbangun ketika matahari telah menyingsing cantik di langit biru yang cerah. Sinarnya yang terik membuatku mengernyit mengumpulkan sisa kesadaran untuk membawa mobil Aryo pulang. Aku menyapa sarapanku diatas piring, atau bisa aku katakan makan siang? Aku kesulitan tidur karena memikirkan Arini pada malam itu yang tanpa berkata pergi meninggalkanku setelah perkataan maaf Herman selesai diutarakan. Sorot matanya lurus memandang wajahku yang dibuat kaku. Bukan merasa terintimidasi, aku dibawa aliran menenangkan pada garis wajahnya yang hanya terdiam.

Suasana di dalam rumah Rahul sangat hening, aku berada seorang diri di hadapan meja saji. Rahul pasti berada di kebunnya saat ini hingga menjelang sore nanti. Aku melirik ke jendela luar yang memperlihatkan kebun tanaman yang terawat milik Ibu Rahul. Tanaman hijau segar dengan buah ungu terang merekah indah dibawah daunnya yang kecil. Melihat buah itu, aku jadi teringat dengan Aryo dan mobilnya terparkir di pekarangan depan. Biarlah Aryo menungguku datang, aku merasa enggan untuk cepat kembali pulang.

Aku makan dengan tenang. Masakan Ibu Rahul tidaklah buruk bahkan bisa bersanding dengan koki yang berada di restoran berbintang. Ibu Rahul memiliki tangan yang luar biasa, walau hanya dedaunan yang ditemukan di kebunnya seperti daun pepaya, masakan di hadapanku terasa luar biasa dengan kuah santan yang kental semakin menambah cita rasa. Ada peraturan tidak tertulis di rumah Rahul yang mengatakan jika piring dibawah tudung saji akan diperiksa. Itu berlaku juga padaku yang sebagai orang luar dari keluarga ini yang tanpa perlu sungkan untuk makan tanpa dipersilahkan. Ibu Rahul akan marah jika mengetahui aku menunggu untuk dipersilahkan makan. Dia pernah berkata dari bibir berbingkai kendurnya, "ibu sudah menganggap Aryo sebagai keluarga. Tidak ada kata sungkan diantara kita." itu terdengar damai di telingaku pada saat itu, tapi sekarang aku merasa sendirian di rumah ini.

Bergegas aku mencuci piring itu dengan bersih dan berjalan keluar. Mendongak sedikit kearah rumah Arini untuk mencari-cari keberadaannya yang tidak aku temukan. Hal yang aku lakukan kemarin malam membuat kesan pada diriku yang tidak mungkin aku lupakan. Apakah aku bisa dikatakan dekat dengannya sekarang? Itu terlalu cepat. Prosesku masih panjang, walau aku bisa mempercepatnya dengan langsung membawa lamaran ke rumahnya. Tapi aku tidak menginginkan itu. Aku menikmati setiap hal yang membuatku semakin mencintai Arini dalam proses pertemuan ini.

Mereka Semua Tidak TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang