Perasaanku ini benar-benar dibuat kewalahan. Hampir saja aku merusak mesin fotokopi karena pikiranku yang uring-uringan. Padahal, jam sudah menunjukkan hampir tiba makan siang, tetapi perutku yang tidak lapar memilih untuk membuat pantatku tidak beranjak dari meja penuh pekerjaan.
Beberapa pemasok untuk mengisi gudang baru satu persatu datang bergiliran. Mobil-mobil box besar dengan membawa muatan kain dari ekspor Cina yang baru datang aku perhatikan mereka menurunkan. Kotak berisikan kain sutra berkualitas ekstra dengan harga yang bernilai tinggi itu akan diangkut mobil kecil ke garmen sesuai perencanaan. Setelah kejadian kebakaran beberapa bulan itu, aku dideportasi pada gudang lain untuk mengambil tanggung jawab selagi menunggu pembangunan gudang diselesaikan ulang.
Minggu kemarin yang tidak kuhabiskan bersama pulang ke rumah membuatku sedikit enggan. Alasan utama ada pada Aryo yang sempat tidur di kamar kost ku dan paginya dia lagi-lagi menghilang.
Dia sudah seperti hantu saja. Untung saja tidak kupikir demikian jika SMS darinya yang mengatakan dia pergi untuk kembali pulang.
Mungkin aku akan pulang dua hari kedepan. Atasan memberikan ku tugas untuk memberikan training pada beberapa karyawan baru yang siap dipekerjakan.
Alasan lainnya juga datang karena mimpi itu yang sangat menyesatkan. Bagaimana tidak, Aryo mengkritisi keadaan dengan menceritakan keseluruhan bagian dengan sangat mendetail bahkan tanpa beberapa adegan yang disembunyikan.
Sialan Aryo.
Sudah menghamili anak orang tanpa pikiran, bahkan membuat orang mimpi basah karena kisahnya yang terlampau menyesatkan.
Malam itu, Aryo kubawa ke kamar kost dengan satu bungkus sate ayam, tiga lontong dan semangkuk sayur sop yang kubeli di rumah makan dua puluh empat jam. Kupikir, dia akan makan seperti orang yang kelaparan, tapi pikiran ku ini terlalu liar memikirkan dia tidak makan selama berhari-hari.
Aryo makan layaknya Aryo yang tenang. Pada tusukan sate yang kelima, dia baru memulai pembicaraan dengan menanyakan keadaan kandungan calon istrinya.
"Sepertinya baik-baik saja. Mungkin umurnya baru beberapa minggu." Ucapku mengingat perut Rahayu yang rata seminggu lalu.
"Aku akan membesarkannya." Lagi-lagi, perkataannya kelewat tenang.
"Terserahmu."
"Kau tidak bertanya alasanku kenapa waktu itu me–"
"Cukup." Jika Aryo melanjutkan kisahnya menggauli calonnya itu, mungkin besok aku tidak akan kerja karena tegang seharian. "Itu terserah mu. Kau bukan anak kecil yang kusuruh untuk mengontrol bagian bawah mu itu."
Aku melipat kertas minyak pembukuan sate yang tidak tersisa siap membuang. "Persetan dengan hujan! Salahmu sendiri kenapa kau yang tidak bisa tenang anjing!"
"Yaa aku terlalu kalap malam itu. Banyak hal terjadi dan pikiran ku mengatakan jika aku tidak bisa menikahi Rahayu tanpa mahar yang dia minta."
Aku menatapnya setelah meneguk segelas air dari termos, "terus kau menghamilinya, iya begitu?!"
"Bukan, bukan itu tujuanku. Kita...sama-sama menginginkannya." Aryo berucap kali ini tanpa ragu.
"Kau bajingan brengsek Aryo. Anjing, anjing..." aku menggelengkan kepala duduk berhadapannya kehilangan kata. "Kau waras, hah?"
"Waktu itu aku memang gila! Aku mengakui itu. Tapi aku akan bertanggung jawab menikahi Rahayu secepatnya."
"Kau tidak memikirkan orang tuanya? Bagaimana penilaian orang lain melihat Rahayu ternyata hamil di luar nikah?"
"Aku tau! Aku tau itu buruk."
"Ya untungnya kau sadar itu! Terus kenapa kau kabur begitu saja? Meninggalkan istri dan calon anakmu yang datang ke rumah malam-malam." Aku mulai mengingat sensasi tenggorakanku terbakar karena martabak panas itu.
"Aku takut... Rahayu mengajakku bertemu dan dia menunjukkan tes kehamilan yang membuatku tersadar kejadian malam itu."
Aku menatap wajah Aryo yang memucat. Tidak kusangka jika kelakuan kakakku ini lebih brengsek dari aku yang sudah pernah mencobanya. "Kau mabuk waktu itu?"
Aryo mengangguk tanpa suara. Dia mengeluarkan sebungkus tembakau dengan kertas yang dia linting secepatnya. Perbedaan ku dijelaskan pada nikotin kami yang berbeda. Aku menyukai yang praktis tanpa usaha dan Aryo memilih untuk menjalani hal yang memerlukan tenaga. Padahal hanya membuang asap diudara saja, tetapi sensasi damai yang terasa di dada mengesampingkan pikiran bahwa racun yang dihisapnya.
Aku tidak menyalahkan keadaan Aryo yang begitu kalut dalam peristiwanya melawan realita. Seakan semesta tidak berpihak padanya, hal yang dia janjikan pada sebuah bangunan tua yang kuperjuangkan itu beralih pada serpihan kertas di dalam tempat sampah bersama teman-teman kotornya.
Berbalutkan kemeja putih dan setelan hitam seadanya. Ikrar suci yang direncanakan diatas meja pelaminan berakhir pada kantor KUA yang untungnya berjalan khidmat.
Begitu harapannya.
Pekerjaanku yang sudah kulakukan beberapa jam lalu berjalan tidak fokus. Memikirkan bagaimana perasaan Ibu Rahayu setelah ancaman Ibuku yang mengatakan jika tidak menikahkan putrinya pada Aryo, maka dia tidak akan bertanggung jawab, membuatku merasa malu. Itu baru kabar yang kudengar dari telepon yang Aryo gambarkan yang lagi-lagi dengan amat detail.
Bayangan akan Ibuku yang duduk di ruang tamu bersama Ayah, orang tua Rahayu dan sejoli itu membuat perdebatan sengit empat belas hari sebelum ijab qobul diucapkan. Aku yang sibuk dengan pembukuan gudang kembali diingatkan kenyataan.
Walau jauh dari lubuk hati ku yang paling dalam aku menginginkan itu menjadi kenyataan. Bukankah melakukan itu sama dengan pasangan yang sah 'kan? Berbicara mengenai Arini yang sudah lama tidak kulihat dari kejauhan, aku mulai merindukannya. Seminggu ini, pikiranku terlalu kacau memikirkan Aryo yang membuatku hampir mengeretnya dari kost temannya. Tentu saja aku tau dimana keberadaan kakakku itu dalam pelarian. Hal ini dikarenakan teman Aryo adalah temanku juga membuat relasiku makin merebak kemana-mana.
Arini tidak kuanggap sebagai beban dalam pikiranku. Ibaratkan perpustakaan pada isi kepalaku yang berukuran normal, Arini ada pada laci khusus dibagian depan yang selalu terbuka jika aku datang. Hanya saja, saat itu perpustakaan yang ramai pengunjung membuat perasaanku linglung untuk memikirkan Arini yang kembali kusimpan.
Mengingat senyumnya yang menawan, belum lagi tawanya yang riang, membuatku iri karena Jaki yang sering bersama Arini ketimbang aku yang jelas-jelas anak pemilik toko. Walau setiap pulang aku tidak ikut berpartisipasi pada toko Ibuku, aku memilih menghabiskan waktu beristirahat dengan cara memandang Arini dari jendela kamar yang kuganti kaca hitam.
Arini tidak bisa melihatku menatapnya dari balik jendela kamar, sedangkan aku bisa melihatnya dengan jelas penuh kebahagiaan.
Ini bukan tindakan pencabulan. Sialan Si Aryo, mimpi buruk walau terasa mengindahkan itu terus-menerus terputar.
Bagaimana kabar pujaanku tersayang?
Kupikir, dia masih bekerja dirumah mengurusi warung dan persediaan gudang. Itu juga menjadi alasan mengapa aku tidak pulang. Lagi-lagi, mengingat mimpi Aryo yang kelewat sialan itu membuatku berpikir tercela mengingat adeganku dengan Arini yang jauh dari kenyataan.
"Permisi, Pak. Karyawan training sudah saya kumpulkan di depan." Ucap salah satu karyawan dibawah naunganku.
"Baik. Saya akan segera kesana."
Jika Tuhan sedang tidak lagi bercanda, mana mungkin Arini ada disalah satu karyawan yang baris disana. Namun kali ini becanda Tuhan yang tidak jenaka itu mengantarkan ku pada keterkejutan. Satu SMS yang datang dari Aryo membawaku melihat seksama teks yang kubaca tidak salah.
"Arini, ku kerjakan bersamamu ya. Jangan kau hamili anak orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Semua Tidak Tahu
RomanceMereka semua hanya tahu aku bahagia Mereka semua hanya tahu aku mencintainya Mereka semua harus tahu jika perasaanku bisa hancur karena cintanya ----- Pertemuan Arya yang mengajaknya mengenal sosok Arini dalam pertemuan singkat ketika dia berkunjung...