Undangan itu aku terima. Banyak tamu yang datang memenuhi tenda yang sederhana dengan janur kuning yang melengkung menyambut tamu di pintu kedatangan. Semua perempuan di desa datang dengan kebaya mereka yang pantas untuk ditunjukkan banyak orang. Tapi tidak dengan kami yang baru turun dari Mobil Jimmy merah dan kakak laki-lakiku membawa Mobil Kijang hijau lumut.
Kita memutuskan untuk menaiki mobil yang berbeda. Aku naik Mobil Jimmy merah kesayanganku dan kakak sulungku itu membawa keluarga didalam mobilnya. Kami disambut bagai tamu kehormatan yang layak diberikan banyak perhatian. Ada perbedaan yang menampilkan kami dengan orang-orang disana -selain Ida yang lebih memilih memakai baju langsungan dari pada kebaya-yang tidak terlihat seperti lainnya.
Keputusanku berdiri di depan cermin selama satu jam setelah mengacak isi lemari dan menemukan setelan kemeja putih walau semua yang aku miliki hampir didominasi model juga warna yang sama. Dari langkahku melewati janur kuning, aku menyapu seluruh penjuru mencari-cari keberadaannya.
Apa dia datang?
Pandanganku terhalang karena tirai putih yang menutupi wajah rumahnya. Aku jadi tidak melihatnya. Disaat semua perempuan desa bermain mata padaku, keinginanku hanya satu, aku ingin melihatnya menatap kearahku.
"Arya, kamu cari apa?" tegur Ibu yang berdiri disebelahku.
"Nggak, nggak ada. Arya cari... tempat duduk."
"Ini pegang bungkusannya." Ibuku menyerahkan bungkusan daun yang terasa hangat dan aroma gurih yang nikmat. "Kita duduk di depan kuade pengantin disana."
Ibuku berjalan terlebih dahulu, disusul dengan Ida yang mengekori dari belakang. Aku tetap mencari-cari keberadaannya, tetapi pandanganku terus bertemu dari kakak sulungku yang sibuk bercengkrama. Ada perempuan penerima tamu di pintu menjadi lawan bicara Aryo.
Nama kami memang sengaja dimiripkan. Padahal kami tidak kembar. Aryo berumur empat tahun lebih awal dariku dan wajah kami menunjukkan perbedaan bagaikan orang berpuluhan tahun. Aryo memiliki wajah yang dewasa dengan dahi yang lebih lebar seperti mendiang ayahku. Kami memiliki sepasang mata yang sama. Tajam dan sedikit meruncing menuju tulang hidung. Berasal dari keturunan pemilik kulit putih, keluarga kami sepenuhnya memiliki kulit putih. Secara fisik, kami memiliki bentuk tubuh yang berbeda. Aryo berperawakan tinggi dan kurus nyaris bertulang, sedangkan aku bertubuh proporsional.
"Baru kenal, Yo?" tanyaku ketika dia datang menghampiriku.
Empat tahun selisih kami tidak membuatku menghormati nama panggilan tua untuknya. Aku tetap menghormati kedudukannya sebagai putra tertua namun panggilan akrabku tetap 'lah Aryo saja.
"Teman kuliah. Yunita namanya."
"Oh, disini juga ada yang kuliah juga."
"Mempelai perempuan yang duduk disana adalah sahabatnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Semua Tidak Tahu
RomanceMereka semua hanya tahu aku bahagia Mereka semua hanya tahu aku mencintainya Mereka semua harus tahu jika perasaanku bisa hancur karena cintanya ----- Pertemuan Arya yang mengajaknya mengenal sosok Arini dalam pertemuan singkat ketika dia berkunjung...