04 | Ayo Lihat Aku

8 0 0
                                    


Teman karibku itu datang menghampiri setelah aku keluar untuk merokok

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teman karibku itu datang menghampiri setelah aku keluar untuk merokok. Aku geram dengan sikap Aryo yang terus memojokkanku di depan Ibu termasuk Ibu Mertua di masa datang. Sebab itu juga, Ibu Mertua melihat sinis kearahku. Terlihat sorot mata melindungi seorang anak ketika dia tahu aku menyukai putrinya.

"Kau tidak masuk, Jis?"

"Sudah. Aku baru pulang. Pengantin perempuannya cantik sekali. Heran, dimana Si Sesep ini menemukannya."

Aku menghembuskan asap rokok panjang keluar dari mulutku. "Aku dengar dia masih teman kuliah Aryo."

Ajis ikut duduk disebelahku diatas pematang got yang sudah lama mati. "Kau sendiri, tidak ingin kuliah seperti Kakakmu itu?"

"Untuk apa?" aku menyesap kembali racun itu dengan nikmat, "gelar tidak menjamin kesuksesan seseorang."

"Menurutku itu penting. Sosok Asep sangat dibanggakan di desa kecil ini karena dia pemuda berpendidikan."

"Apa pekerjaan yang Asep dapatkan dengan gelarnya itu? Berapa gajinya? Mapankah dia yang sudah berani meminang perempuan?" aku menikmati sensasi racun itu menyalur ke setiap aliran dalam tubuhku. "Mereka hanya bertanya untuk perbandingan. Mana yang lebih baik, memiliki gelar atau tidak? Pekerjaan dengan gaji yang banyak seperti apa jika memiliki gelar atau tidak? Pasangan seperti apa yag mau menerima seseorang tanpa gelar atau tidak? Perbandingan itu mereka ingin dapatkan jawaban dengan pertanyaan."

"Pekerjaanmu di kota besar. Wajar kau berkata itu karena kau sudah melakukannya."

"Bedanya, aku tidak memiliki gelar seperti mereka. Dalam pekerjaan, gelar bukanlah pembuktian orang untuk bisa melakukannya. Manager tidak bertanya 'Gelar apa yang kamu miliki?' tapi dia akan bertanya 'Kamu bisa atau tidak melakukan pekerjaan ini?'. Jangan remehkan seseorang yang sudah bertekad untuk memiliki banyak uang. Dia bisa melakukan apa saja, aku contohnya."

"Biar aku ceritakan. Kau datang ke kota itu setelah lulus SMA dengan izajah yang harus ditebus karena terlalu banyak nilai merah disana. Hanya bermodalkan tekad, kau mempelajari apa yang mereka lakukan. Bermula dari sopir pengantar makan siang, kau naik ke posisi menjadi seorang manajer terpandang. Hebat! Izajah sekolah teknik mesinmu itu tidak sia-sia rupanya." Ajis tertawa.

"Bahkan Ibuku mengira, uang segepok gaji pertamaku itu hasil pencurian."

Kami tertawa. Jika mengingat kejadian itu, Ajis dan Rahul menjadi saksiku. Kami bertiga dipertemukan di daerah yang sama, namun pekerjaan kami berbeda. Rahul seorang kuli yang pada saat itu menggarap bagian belakang hotel bintang lima, sedangkan Ajis adalah pekerja disebelah hotel itu. Seorang pramusaji di restoran ayam cepat saji dari luar negeri yang kebetulan aku datangi. Jika pertemuanku dengan Ajis dimulai karena dia yang melayaniku, Rahul bertemu dengan ku karena aku mengajaknya makan setelah dia berdiri dengan bodoh di depan pintu restoran.

Aku kasian dengannya waktu itu. Tapi sekarang aku menyesal membantunya siang itu. Jika aku tahu orang tuanya adalah tuan takur dengan berhektar tanah yang akan diwariskan padanya, aku tidak akan mengira waktu itu Rahul adalah seorang gelandangan yang kelaparan di kota besar.

Mereka Semua Tidak TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang