02 | Si Kopi Hitam

14 0 0
                                    


1989 - Arya Santoso

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

1989 - Arya Santoso

Dilahirkan bukan dari keluarga kaya membuat seseorang diluar sana berdiri kaku di pekarangan rumah dewi yang dipujanya siang dan malam. Hanya berdiri dipekarangannya saja, tidak melakukan apa 'pun bahkan bergerak untuk maju saja enggan. Bukan takut, tapi tabu. Jika laki-laki sepertinya melangkah lebih dalam lagi, apa yang akan dipikirkan orang lain? Bukan pengecut, tapi ini harga yang mahal. Dia mematok harga yang luar biasa, sangat mahal bahkan hanya untuk menyapanya.

Hanya satu yang menjadi modal utamanya. Keyakinan. Tentu saja juga cinta yang besar. Melihat dari balik pohon kelapa, dia bercengkrama dengan teman sebaya, membuat mulut ini enggan untuk berbicara. Sampai satu keluarga itu pergi ke balai kota, dia baru bisa menunjukkan dirinya. Dihadapan rumah kosong tanpa siapa-siapa di dalam sana.

Dari balik gagang besi yang membatasi pandangannya, dia terjebak di dalam tatapan tajam yang dingin dari gadis yang disebut bunga desa dari pegunungan. Dingin embun pagi melebihi aura gadis itu ketika mengangkut kayu. Bukan dia saja korbannya, tapi banyak dari para bujang di desa ikut tidak mendapatkan sapaan ramahnya yang merdu. Hanya orang tua yang mendapatkan senyum manis berlesung di wajah hitam manisnya. Suara lembut dan tenang berhasil didapatkan lelaki tua penjual bubur putih yang selalu diam dibawah pohon kelapa. Ketika panas matahari menyapa dirinya dengan sengit, wajah cantik itu sedikit mengernyit. Belum ada kata yang dikeluarkan, tapi dia pergi karena kepanasan.

Jika diinginkan, rambut hitam ikal sepinggang itu ingin sekali dia pegang. Digulung dengan nyanyian khas ibu-ibu pengepang atau dielus dengan penuh kelembutan. Warna hitamnya mengilat karena olesan minyak kelapa yang baru masak di kuali besar. Sengaja dibuat dengan ibu-ibu rumah tangga untuk kebutuhan masak dan sehari-harinya. Ketika petang datang menyapa, dia masuk kembali ke dalam rumah setelah menyelesaikan mahakaryanya yang luar biasa. Bisa dilihatnya, pekarangan tertata rapi dengan pot-pot bunga indah dan tidak kalah cantik dari pemiliknya. Sangat rapi bahkan bersih nyaris tanpa cacat dengan satu daun yang jatuh disana.

Aku terduduk diatas leneng didepan rumah salah satu bujang disana. Mobil jimmy hitamku berdiam dibawah pohon kelapa yang berbekas sambaran petir diujungnya. Banyak wajah-wajah yang aku kenal, bahkan pedagangnya 'pun juga aku kenal. ini sudah ketiga kalinya aku datang ke kemari. Hari kedua ku yang tidak mendapatkan senyuman indahnya pada pagi ini.

Dia melenggang pergi melewati kerumunan kami. Seperti biasa saat kemarin, wajahnya tidak ramah dan tidak melihat sama sekali kearah kami. Tapi aku menyukai itu. Dingin gadis itu menyelimuti desa kecil ini di pagi hari. Bagai sebuah candu, aku mendengar sapaannya yang merdu. Oh, ada seorang perempuan tua yang duduk di teras rumahnya. Tengah menjahit dengan tangan kosong dan dia ikut tertarik untuk melihatnya. Rambutnya diikat tinggi diatas kepala. Pagi ini dia membiarkan rambutnya mengembang indah dengan keriting khas milik ayahnya yang menjadi Kepala Desa.

"Apa yang kamu lihat, Ya?"

Kopiku hampir dingin dengan empat iris pisang goreng yang sudah hilang, dua karena ulah mereka. Disebelah gelasku masih tersisa tiga batang kretek di untuk siang nanti. Katanya akan ada tontonan di lapangan Balai Kota malam ini. Aku sudah pernah menonton film itu. Tidak tertarik untuk melanjutkannya lagi, aku memilih pergi dari kursi bioskop dan melanjutkan untuk berjualan es lilin lagi. Tapi dia, apakah ikut tertarik? Apa dia akan datang malam ini?

Mereka Semua Tidak TahuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang