Pertemuan yang dijanjikan Arini itu sungguh terjadi. Tepat setelah mobil pemasok beras pergi meninggalkan pintu gudang yang telah ditutup Arini, aku menyapanya dengan lambaian tangan ucapan selamat pagi. Arini tersenyum cerah juga hangat menyambutku dengan buku besar dalam dekapannya, aku sukses dibuat jatuh hati.
"Sudah selesai?" tanyaku menghampirinya.
"Sudah. Tinggal tunggu Mas Aryo untuk periksa laporan ini." Semburat bangga sekaligus lega dapat aku tangkap dari sorot matanya.
Tapi mengingat kejadian malam tadi mengenai Aryo yang tiba-tiba pergi, aku telah menemukan jawaban itu subuh tadi. Aryo pulang sangat larut ketika aku terbangun untuk menghisap rokok di atas kursi. Dia membawa amplop cokelat misterius melewatiku pergi. Tanpa sepatah kata, aku hanya mendengar suara pintu kamarnya tertutup tanpa permisi.
Alangkah terkejutnya aku ketika terbangun dipagi hari untuk mengambil koran pagi, aku menemukan timba sampah milik kamar Aryo yang penuh diletakkan di teras. Diatas tumpukan kertas yang tidak aku ketahui sama sekali, amplop cokelat misterius malam itu berakhir serpihan tidak bermakna sama sekali. Aku lancang dan melihat isinya, itu adalah sertifikasi hak milik yang tertulis nama Siger Rahayu Pratiwi yang telah terisi tanda tangan dirinya tapi tidak dengan nama yang tercantum disana.
"Siapa yang menjaga toko, Arini?" tanyaku.
"Mas Jaki." Arini mengambil duduk diatas bangku dengan membuka catatannya dalam pangkuan.
Bangku disebelahnya masih panjang dan kosong jika aku duduk disebelahnya. Tapi aku enggan. Jadi aku memilih untuk berdiri menikmati Arini yang serius membaca laporan yang dibuatnya tadi.
Aku tidak tahu harus memulai dengan apa. Tidak ada topik yang terbesit dikepalaku untuk membuat Arini nyaman bersamaku. "Em... Sudah sarapan?"
Bodoh.
Basa-basi yang sudah sangat basi.
"Sudah." Arini menatapku dengan manik hitamnya yang gemerlap.
Bajingan. Sebagai lelaki aku dibuat kewelahan.
Tidak lama kami bertemu pandang sebelum Arini memutusnya duluan, perkataannya membuatku semakin dibuat tenggelam.
"Kemarin saya tidak bermaksud untuk menguping pembicaraan kalian." Ujarnya yang dilanjutkan setelah cukup untuk terdiam, "diteras."
"Kamu mendengarnya sampai selesai? Kalimat yang mana kamu dengar pertama?"
Arini membasahi bibirnya yang mengering. "Darah milik Pak Santoso ada di depan toko itu."
Aku tersenyum. Rasanya ingin mengusap pucuk kepalanya namun lagi-lagi aku enggan. "Kamu mendengar kisahnya?"
"Itu kisah yang pilu. Saya tidak tahu jika sejarah bisa meninggalkan memori kelam bagi anak yang masih dalam kandungan."
"Aku bahkan tidak memiliki ingatan wajah Ayahku sendiri." Aku melihat raut wajah Arini memucat menatapku ingin berkata. "Tidak perlu minta maaf. Aku tidak membutuhkan itu."
"Siapa yang mau minta maaf? Saya hanya ingin bertanya."
Kebodohanku sungguh membuatku malu. "Apa itu?"
Arini menatap ke langit dengan pandangan tenang sejenak sebelum pertanyaan itu keluar. "Apa yang ingin Mas lakukan di masa depan?"
"Masa depan? Tentu saja mendapatkan hati seseorang."
Arini kini menatap kearahku dengan tetap tenang.
"Mendapatkan cinta yang mahal itu dan membangun keluarga hangat di dalam tempat beratap."
Arini kini beralih tertawa. Sangat jenaka karena dia pikir apa yang aku katakan terdengar lucu. Padahal aku membicarakan tentang dirinya. Cintanya yang membuatku selalu terhibur dengan luka. Benar. Aku hanya mendapatkan luka dengan mencintai Arini berterusan. Tanpa saling bertaut, keinginanku terus menolak untuk larut. Disaat Arini yang sulit menoleh kearahku atau aku sendiri yang tidak pandai menunjukkan cinta besar dalam diriku?
Dia tidak menarik ulur perasaanku.
Tapi aku yang masih ragu.
Cinta dan obsesi bermakna dalam barisan yang sama. Jika mencintai seseorang menggunakan obsesi, maka cinta itu akan abadi. Bagaimana tidak, obsesi menjadi latar akan cinta itu tumbuh dengan kuat. Tapi bagaimana obesesi itu berjalan kearah yang buruk?
Seperti Aryo pada Rahayu yang dipujanya.
Aku belajar satu hal darinya. Obsesi dalam cinta itu sangat mengerikan. Pria yang selalu menghargai kenangan ditiap harinya beralih menjual kenangan itu untuk memenuhi obesesinya yang haus akan cinta.
Tapi bagaimana denganku?
Wanita yang kini tersenyum menatapku dari belakang sebelum pergi itu mengatakan padaku di duduknya. "Kalau saya, tidak tahu apa yang harus saya lakukan di masa depan. Ketika seseorang bisa mencintai, memenuhi impian ketika besar nanti, bahkan bisa merencanakan untuk pergi. Saya tidak memiliki tujuan untuk pulang atau datang."
"Maksudnya?"
"Terkadang saya ingin pergi menghilang sebelum kembali menghadapi kenyataan. Pergi ke tempat yang jauh dimana tidak ada yang saling berhubungan."
Arini pergi dengan kata terakhirnya pada lambaian tangan lembutnya. "Saya memiliki banyak tanggung jawab. Sebagai anak, sosok kakak, bahkan masyarakat."
Hal yang disebut Arini itu terlihat nyata ketika kami memutuskan untuk bertemu kali sekian dalam kisahku. Aku mengenalnya sosok yang kuat. Sebelum diriku hadir dalam hidup Arini, dia tetap bisa bertahan dengan menancapkan kedua kakinya dengan kuat, bahkan tidak berubah sebelum kami memutuskan untuk saling terhubung.
Dalam ikatan tulus dan sedikit keraguan, pemikiranku seakan merangkak keluar cangkang. Aku berpikir, apa tangan yang kupegang juga ikut merasakan hal yang sama sepertiku?
Sayangnya. Aku tidak mendapat jawaban itu.
Tapi hal yang menyenangkan sebelum mengakhiri kisah pertemuanku dengan Arini adalah kehadiran mereka yang tidak terduga dalam hidupku. Sosok kecil itu menautkan jemari mungilnya yang jauh berbeda denganku. Sangat menggemaskan dengan pipi gembul putih mereka yang menggembang.
Kisah cintaku tidak seperti kebanyakan orang. Nyaris membosankan karena aku yang berjuang. Sebelum menyelesaikan tugasku, akan kuperkenalkan sosok itu. Mereka adalah sosok-sosok kuat sama sepertiku. Hadir dikarenakan cinta tulus dariku, mereka datang kemari dengan kegembiraan ditengah keterpurukan hidupku.
Aku pamit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Semua Tidak Tahu
RomantiekMereka semua hanya tahu aku bahagia Mereka semua hanya tahu aku mencintainya Mereka semua harus tahu jika perasaanku bisa hancur karena cintanya ----- Pertemuan Arya yang mengajaknya mengenal sosok Arini dalam pertemuan singkat ketika dia berkunjung...