Tidak ada angin yang membuatnya datang disebelahku. Tidak dekat dan masih berjarak disebelahku sekitar selangkah orang dewasa, tapi itu cukup membuatku bahagia akan fakta dia mengambil duduk disebelahku. Malam itu, setelah makan bersama selesai, beberapa gadis pulang ke rumah ketika waktu telah berlalu terlalu larut. Beberapa dari mereka masih menghabiskan waktu disini, termasuk Arini. Aku senang ketika mendengar derap kakinya menghampiriku. Aku bahagia ketika mulai mengambil bicara terlebih dulu dari pada aku. Aku semakin mencintainya setelah mendengar gambaran sosok kakak pada dirinya setelah berkata, "Herman memang seperti itu. Dia terlahir dengan kedua Mbak yang selalu menganggapnya tanpa tahu dia telah dewasa."
Kalimat pembuka itu membuatku tersentak dari lamunanku menatap langit bertabur bintang yang gemerlap. Dia yang tidak pernah ku sangka akan duduk disebelahku, malam ini membalik fakta itu. Arini duduk memeluk lututnya dengan satu tangan lain mengorek tanah dengan ranting yang dia pegang. Aku tersenyum ramah melihatnya, "tidak apa," kataku membalasnya.
Kami duduk di sisi lapangan, jauh dari keramaian orang yang sibuk bermain tukar pesan di dekat api dengan beberapa orang yang tersisa. Aku melihat Herman dari dudukku. Pria yang menjadi alasan Arini memilih berada disebelahku malam ini tengah memimpin permainan dengan girang tawanya yang membahana. Tepuk tangan yang riuh semakin memacu permainan itu ketika dia sebagai pemimpin menuntun pemain untuk cepat menebak kalimat pada orang terakhir. Permainan itu berlanjut ketika Herman berdiri di depan memperagakan berbagai gaya yang menggambarkan sesuatu untuk ditebak oleh yang lain.
"Maaf."
Perkataan Arini yang tiba-tiba membuatku menoleh padanya, "untuk Herman? Itu tidak perlu." Aku tertawa kecil.
"Bukan. Tapi untukku."
Aku semakin bingung.
Arini melumat bibirnya terlihat ragu. "Aku pembicara yang buruk. Aku datang untuk meminta penjelasan atas tindakan Herman tadi, tapi aku tidak tahu harus berkata apa."
Hal yang diutarakan Arini sempat membuatku ingin tertawa karena kepolosannya, tapi aku tahan sebisa mungkin untuk tidak mengecewakan niat baiknya. "Tadi 'kan sudah. Kamu mengatakan Herman terlahir sebagai adik dengan dua kakak perempuannya. Itu sudah cukup menyenangkanku."
"Menyenangkan?" kali ini dia menatapku bingung.
Aku cepat-cepat mengoreksi kalimatku. "Menenangkan. Iya menenangkan." Aku tidak mungkin mengatakan rasa senangku karena dia duduk disebelahku. Bisa jatuh citraku di mata Arini bila dia tahu aku memang menginginkan ini.
Keputusanku untuk kembali pulang tertahan karena penjelasan Rahul tadi. Tapi, aku juga tidak menunggu permintaan maaf dari Arini dan duduk disini. Hanya saja, aku cukup berani menunjukkan diri di depan seluruh orang dan melewati sesi makan bersama. Tidak pernah kusangka, waktu yang aku habiskan untuk duduk di tempat ini akan membawa Arini ikut bersama.
"Kenapa kamu tidak ikut disana?" aku mengambil inisiatif untuk memulai ketika menunggu Arini yang tidak kunjung aktif.
"Herman akan kaku ketika ada aku disana."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mereka Semua Tidak Tahu
RomanceMereka semua hanya tahu aku bahagia Mereka semua hanya tahu aku mencintainya Mereka semua harus tahu jika perasaanku bisa hancur karena cintanya ----- Pertemuan Arya yang mengajaknya mengenal sosok Arini dalam pertemuan singkat ketika dia berkunjung...