08. Mas Ojek Ditolak

722 133 3
                                    


"Lo nggak usah takut sama mereka, Lan. Kalo lo sampe dilabrak kayak gitu lagi, jangan sungkan buat bilang ke gua." Bulan menoleh menatap netra Angkara. Bulan menampilkan senyum tipisnya, lalu mengangguk.

"Thanks, Kar." Angkara sejenak terdiam menganggumi wajah Bulan yang begitu cantik. Ia sangat-sangat suka melihat senyuman Bulan yang berhasil membuatnya berdebar.

"Iya, Lan."

"WOY!" atensi ketiga orang itu teralihkan ketika mendengar teriakan menggelegar dari luar. Tepat didepan pintu kelas, terdapat tiga presensi pemuda, Bulan mendesis tak suka.

Langit melangkah cepat menghampiri bangku Bulan, mendorong bahu Angkara dengan bahunya.

"Sorry, sengaja." Katanya dengan senyuman miring khas miliknya. Angkara mendengkus, memilih duduk dikursinya sendiri, tepat dibelakang bangku Bulan.

Cahaya memanyunkan bibir bawahnya, ia tidak mendapati presensi crush-nya disana. Lantas, dengan cekatan tangannya meronggoh saku seragamnya, menarik ponsel mahal miliknya lalu mulai menarikan jemarinya dengan lihai.

Langit menatap tak suka pada Angkara, ia lalu mengalihkan pandangannya pada Bulan dan memasang senyum terbaiknya.

Menyodorkan kotak bekal miliknya, Langit lantas berucap. "Kok kamu kasih ke Mentari?"

"Kamu!?" Fajar membatin, ia nyaris mengeluarkan tawanya ketika mendengar ketua geng-nya mengucapkan satu kata itu. Lebay? Tidak kok. Langit memang terlihat menggelikan ketika berucap demikian. Karena pemuda itu sama sekali tidak pernah berkata manis begitu pada seorang perempuan. Dan sekarang, tiba-tiba pemuda itu mengatakan hal itu dengan wajah konyolnya.

Bulan menoleh, menatap kotak bekal milik Langit yang pemuda itu sodorkan diatas mejanya kemudian menaikkan kepalanya, memerhatikan wajah Langit.

Bulan tidak peduli jika Langit berkata manis seolah mereka memiliki hubungan khusus. Lagipula, kenyataannya Bulan tidak pernah peduli dengan Langit.

"Kasih ke yang lebih membutuhkan aja." Langit menoleh menatap Fajar dan Alaska bergantian, pemuda itu mendelik ketika melihat Fajar yang terlihat tengah menahan tawanya.

"Emangnya kamu gak butuh?" Bulan tidak menjawab, ia hanya menatap Langit. "Jangan diem kayak gitu dong."

"Terus? Gue harus teriak? Nari-nari didepan kelas kayak orang gila?"

"Judesnya.." Langit terkekeh, ia tak tersinggung sama sekali akan ucapan Bulan.

Langit meraih tangan Bulan, meletakkan kotak bekalnya diatas telapak tangan gadis itu. "Aku tau kamu lagi laper."

"Pemaksaan." Langit terkekeh.

"Biar kamu gak sakit." Bulan mendesis, ia memutar bola matanya malas. "Tadi Mentari apain kamu?" Imbuh Langit setelah menarik tangannya kembali. Padahal, ia ingin berlama-lama memegang tangan halus milik Bulan, tapi ia tak mau nantinya gadis itu malah marah dan tak mau menemuinya lagi.

Bulan menyernyit, ia menghela napas setelah mengingat siapa yang dimaksud oleh Langit. Pasti Kakak kelasnya tadi, karena tadi Bulan sempat melirik nametag Mentari sesaat.

"Gak--"

"Dilabrak, Kak. Katanya Ralisa gak boleh deketin Kakak. Terus kotak bekel Kakak juga dirampas." Cahaya memangkas ucapam Bulan dengan cepat. Membuat Bulan seketika menoleh menatap Cahaya dengan tatapan mematikan. Bukan hanya Bulan saja yang menatap Cahaya, melainkan semua yang berada dikelas itu.

"Aya." Cahaya menyengir, memasang wajah tak bersalahnya. Cahaya memang tidak salah, kok. Hanya saja, seharusnya Cahaya tidak memotong ucapan Bulan.

BRITTLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang