"."
Aktifitas hari ini berjalan kayak biasanya. Kuliah, tugas, dan aspek-aspek lain yang memang ada sangkut pautnya pasal rutinitas juga terlaksana dengan baik.
Emang, keadaan gak berubah banyak setelah dua manusia itu mutusin buat berjarak dan terhitung udah dua hari berjalan ketika itu terjadi. Cuman suasana hati mereka benar-benar berubah banyak.
Seulgi, manusia sipit satu ini emang paling pintar soal nyembunyiin apa yang dia rasa. Mau sesakit apapun perasaan dia, orang yang gak terlalu banyak tau soal dia bakalan ngira kalau Seulgi baik-baik aja karena ketutup sama sifatnya yang ceria.
“Brengsek.” Satu kata umpatan yang Seulgi lontarkan hari ini, ngarahnya si ke Lisa. Tapi Lisa tau kalau kata-kata itu sebenernya bukan buat dia.
“Lo kenapa lagi, Gi.” Lisa tau kalau Seulgi beberapa hari ini lagi gak baik-baik aja. Kelihatan dari sorot mata dia yang emang nyimpen beban segitu gedenya. Ditambah lagi masalah Irene. Lisa tau kok persoalan Irene dan Seulgi yang ambil jarak, karena Irene udah cerita ke dia sebelumnya tentang ini.
Sekarang mereka lagi ada di café Lisa. Diruang pribadi milik Lisa dan sering jadi tempat tongkrongan temen dia.
“Asu, capek!” Sambatan Seulgi barusan bisa Lisa tangkep kalau anak ini beneran kacau pikirannya. “Orang udah BAPER, udah suka BALIK, MALAH di patahin. Bajingan emang.” Minuman berkafein yang semula ada dimeja itu di teguk rakus sama Seulgi.
“Siapa anjir. Gue gak gitu orangnya.”
“Adalah manusia.” Kasar, Seulgi taruh gelas kopi itu kembali ke meja.
Ragu Lisa menyebut nama orang yang bikin Seulgi uring-uringan tapi akhirnya disebut juga. “Irene ya?”
“Brengsek!” Ya betul, umpatan yang barusan itu buat siapa lagi kalau bukan Irene. “Lis, ini gelas kalau gue banting boleh ga?” Kata Seulgi sambil nunjuk gelas kopi dia yang isinya udah tandas habis.
“125 ribu itu anying,” Protes Lisa gak terima.
“Gue bayar 150.”
“Sorry Gi, ga bisa. Biaya maintenance gelas selama sama gue, terus lo juga bantingnya di ruangan gue. Kalau 235 baru gue lepas. Mau gak?”
Seulgi ngelirik malas kearah Lisa yang kelihatan nahan tawa dia. “Gak jadi ah, mahal. Biaya makan gue seminggu tuh.” Habis ngomong gitu, Seulgi sandarin punggung dia ke kepala sofa. “Otw aseksual aja gue kayaknya.”
Kepala Seulgi di toyor brutal sama Lisa. “Omongan lu cok.”
“Ya habis, gue dipatahin mulu. Egois banget tu bocah.” Seulgi mendekatkan diri kearah Lisa, posisi dia mau ngajak ngerumpi. “Lo tau Suho gak si?” Lisa ngangguk.
“Anak Arsi angkatan atas kita bukan si? Katingnya Irene?” Tanya Lisa.
Sejenak mereka diam, Seulgi membuka kunci ponsel dia lalu menuju ke roomchat ‘Suho’. Ingin memberi tahukan sesuatu kepada Lisa mungkin?
“Lo liat deh.” Seulgi memberikan ponselnya pada Lisa, tanda buat Lisa diperbolehkan baca pembicaraan yang Seulgi dan Suho lakukan di roomchat tersebut. “Suho sama Irene pernah deket ya?” Kalimat barusan emang kedengeran kayak pertanyaan, tapi sebetulnya itu tuh pernyataan dari Seulgi.
“Jujur, gue gak tau Gi. Apa perlu gue tanyain ke orangnya?”
“Gak perlu anjir. Gue cuma tanya doang kok, kali aja lo tau.” Seulgi ambil kembali ponsel dia yang tadinya ada di Lisa. Tatapannya mandang sendu kearah ponsel dia dimana masih tertampil chat Suho dan dia yang tentu aja perihal Irene.
“Gue gak tau sebelumnya kalau dia pernah sedeket itu sama Suho. Suho itu juga temen gue, Lis. Dan gobloknya, gue tau ini waktu keadaannya kayak gini. Ironis gak sih.”
Seulgi mikir lagi, baru dua hari padahal mereka mutusin buat jauhan dan tanpa sengaja, di jangka waktu dua hari itu Seulgi mengetahui sesuatu tentang Irene yang selama ini sengaja banget di sembunyiin.
.
.
.
“Keputusan gue udah bener kan ya, Win?” Ditempat lain dengan keadaan gak jauh beda dengan Seulgi, Irene juga sama uring-uringannya. Winter yang pasti selalu dilibatkan dalam urusan ke gundahan Irene, sekarang juga kembali terlibat.
“Udah kok, Ren. Lo gak bisa ambil langkah maju buat jalanin ini sama Seulgi, pilihan lo satu-satunya ya kudu lepasin dia.” Winter menyodorkan sepotong roti keju dihadapan mulut Irene. “Makan gak lu,” Kata Winter memaksa.
Irene menggeleng. “Gak napsu.”
Winter berdecak sebal. “Lo sendiri yang bikin situasinya kayak gini, gak boleh nge-block hidup lo sendiri. Kalau pilihan lo udah itu, yaudah,” Kata Winter menggebu-gebu. Dia menarik napasnya sebentar sebelum kembali menyodorkan roti itu pada Irene. “Sekarang makan, atau lo gue makan?”
“Lesbi lu serem.” Sejenak Irene berkomentar, tapi lanjut nurut sama perkataan Winter buat makan.
.
.
.
“Jujur sama gue, lo pernah confess sama Suho!?” Irene yang di teter kayak gitu sama Lisa Cuma bisa hah huh kayak keong.
Jam 11 malam dimana waktu yang tepat buat manusia lain masuk ke alam mimpi, ini Irene malah di telfon sama Lisa. Awalnya Irene gak tau perkara apa, tapi baru aja dia angkat telfon dari si manusia jangkung itu, eh dia udah digas duluan. Irene kan takot!
“Hah!? Enggak anjir!” Irene nyanggah pertanyaan Lisa. “Kata siapa lo?”
Ketar-ketir, tentu aja. Firasat Irene udah gak enak duluan waktu ditanya gitu sama Lisa karena pikirannya langsung ngarah ke Seulgi.
“Bener, Ren?”
“Ya bener, ngapain gue boong. Kenapa Liss??” Serius, Irene penasaran banget.
Di seberang sana bisa Irene dengar kalau Lisa barusan ngehela napas panjang. “Hah~ Seulgi dapet omongan gak enak tentang lo sama Suho.”
“Omongan gak enak gimana?”
“Ya intinya lo pernah bilang kalo lo suka sama Suho. Tadi siang Seulgi cerita sama gue, overthingking itu anaknya. Dikira perasaan lo main-main sama dia.”
Irene ngehela napas panjang. “Gue emang pernah deket sama dia, tapi cuman sebatas temen doang gak lebih. Gue juga pernah cerita ke lo kan gimana reaksi Suho waktu gue bilang ke dia kalau gue suka sama Seulgi? Sejak itu, gue juga udah gak pernah kontakan sama dia lagi. Sama sekali, bahkan bisa dibilang udah lost contact.”
“Iya, lo udah pernah cerita. Tapi emang selama ini lo gak ada bilang ke Seulgi kalau lo sama Suho pernah sedeket itu? Secara, Suho itu juga berteman sama Seulgi.”
“Suho yang larang gue buat bilang ke Seulgi kalau kita pernah deket. Jadi gue sama sekali gak ada ungkit masalah itu waktu sama Seulgi,” Irene menjeda perkataannya sejenak buat tersenyum masam. “Ternyata malah dia sendiri yang bilang sama Seulgi. Mana di situasi yang kayak gini.” Lagi, satu tarikan napas panjang Irene lakukan.
“Kalo gitu ceritanya, berarti pilihan satu-satunya lo harus bilang ke Seulgi soal ini. Kasih dia sudut pandang dari sisi lo, Ren.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear M
FanfictionSoal perasaan yang udah lama di pendam dan ketahuan cuman karena keceplosan.