Chapter 33 - A Chosen Path

831 179 12
                                    

Bunyi sebuah kaleng minuman yang terjatuh di dalam vending machine membuat (Y/n) bergerak untuk mengambilnya. Rasanya ia pernah melakukan hal yang sama. Namun, ada suatu perbedaan saat ini; yakni keberadaan orang di sampingnya itu.

Kaleng minuman yang baru saja diambil oleh gadis itu kini disodorkan ke hadapan orang di sebelahnya. Wajahnya yang tampak kebingungan membuat (Y/n) berinisiatif untuk meraih tangannya dan meletakkan kaleng minuman itu di sana.

"Minumlah. Tidak ada racun di dalamnya."

Lelaki itu hanya meringis kala ia mendengar ucapan (Y/n) yang blak-blakan. Perlahan dibukalah kaleng tersebut dengan menarik kait penariknya. Sesaat kemudian isi kaleng itu telah tandas sepertiganya.

"Siapa... namamu?"

Kala pertanyaan itu keluar dari bibirnya, ia tidak mampu menariknya kembali. Alhasil, (Y/n) pun menoleh ke arahnya, menatapnya sejenak, kemudian mengalihkan tatapannya ke objek lain.

"Tyazel (Y/n). Namun, kau boleh memanggilku (Y/n). Ah, ralat. Kau harus memanggilku (Y/n)," jawab gadis itu, seakan-akan ia baru tersadar tentang suatu hal di dalam benaknya.

"Ah! Namaku Yoshino Junpei! Salam kenal, (Y/n)-san!" Ia membungkuk di hadapan (Y/n). "Kau juga boleh memanggilku dengan Junpei," tambahnya.

Seketika (Y/n) mematung. Perkataan Junpei tadi mengingatkan gadis itu kepada seseorang. Seseorang yang menganggap dirinya sebagai orang yang berharga baginya. Atau mungkin itulah yang ia harapkan dari (Y/n).

"Baiklah, Junpei."

Mendengar (Y/n) memanggil dirinya dengan nama depannya, seketika Junpei pun tersenyum. Lelaki itu segera beranggapan bahwa (Y/n) merupakan seorang gadis yang baik. Bahkan di pertemuan pertama mereka kali ini.

"Omong-omong, (Y/n)-san." Yang dipanggil pun menoleh. Sesaat setelahnya Junpei melanjutkan perkataannya, "Mengapa kau mencegahku pergi mengejar orang tadi?"

Sejenak (Y/n) terdiam. Jujur saja, ia pun tidak memiliki alasan mengapa dirinya mencegah Junpei pergi beberapa saat yang lalu. Padahal hal itu bukanlah urusannya. Jikalau Junpei tetap mengejar orang tadi, hidup gadis itu tidak akan pernah berubah. Tetap akan sama sampai tiba saatnya di mana ia akan pergi.

Lalu, mengapa (Y/n) justru melakukan hal yang sebaliknya?

Yang ia ketahui, tubuhnya bergerak dengan sendirinya. Seolah-olah bukan dirinya yang mengendalikan tubuhnya itu. Atau jangan-jangan Clove-lah oknumnya? Tidak, hal itu tidak mungkin. Mengingat bahwa Clove sedang tidak bersamanya saat ini.

Semakin dipikirkan, (Y/n) pun semakin merasa kalut. Kalut sebab dirinya tidak mengetahui apa penyebab pasti mengapa ia mencegah Junpei pergi. Tidak mungkin jika arwah Yuuji merasukinya, bukan?

"(Y/n)-san?"

Panggilan Junpei itu menghapus lamunan (Y/n) tanpa jejak yang tersisa. Gadis itu pun kembali memutar otak untuk menemukan jawaban yang paling tepat dan membungkam pertanyaan lebih lanjut dari lelaki di depannya itu.

"Apakah kau ingin menyesal?" Seperti aku, lanjutnya dalam hati.

Sontak Junpei menggeleng kuat-kuat. Lagi pula, siapa yang menginginkan penyesalan? Penyesalan tidak akan mengubah hal apapun. Termasuk hidup seseorang. Baik di masa lalu maupun di masa yang akan mendatang nantinya.

"Jika kau tidak ingin menyesal, maka turutilah perkataanku. Semudah itu," ujarnya lagi.

Dengan berat hati, Junpei pun mengangguk. Menyetujui perkataan (Y/n). Mungkin ia bisa dikatakan mempercayai seseorang dengan mudah. Namun, entah mengapa, bertemu dengan (Y/n) hari ini seolah-olah terasa mampu mengubah hidupnya.

***

"Kau sengaja, 'kan?"

Kala dirinya bertemu kembali dengan Clove, (Y/n) melontarkan pertanyaan itu. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Dengan tatapan mengintimidasi, (Y/n) menuntut sebuah penjelasan dari Clove.

"Tentang apa?" Satu keripik kentang dimasukkan ke dalam mulutnya. Hingga terdengar suara yang khas kala keripik kentang itu dihancurkan oleh gigi seri.

"Tiket film itu."

Sejenak Clove terdiam. Tampak memikirkan sesuatu di dalam kepalanya. Yang sehingga membuat (Y/n) bertanya-tanya apa yang tengah lelaki itu pikirkan.

"Ah, hal itu yang kau maksud," sahutnya. Sebuah senyum miring tersungging pada wajahnya. "Ya, aku memang sengaja melakukannya."

Ucapannya Clove itu berhasil membuat (Y/n) menghela napas panjang. Ia tahu, tidak ada kata "bersantai" di dalam hidupnya jika berhubungan dengan dunia yang ia tinggali saat ini. Di kala masalah yang lalu bahkan belum usai, masalah baru kembali hadir. Presensinya tidak dapat dihindari.

"Bagaimana? Apa yang kau lakukan saat itu?" tanya Clove diliputi oleh rasa penasaran.

Manik (e/c) itu melirik ke arah si lawan bicara. Tampak tidak ada satu persen pun niat untuk menjawab pertanyaannya. Kala ia mendengar pertanyaan lelaki itu, seketika mengingatkan dirinya akan fakta bahwa ia mencegah Junpei pergi ke luar bioskop. Sungguh, tubuhnya bergerak dengan sendirinya saat itu. Ia bahkan lupa jika dirinya tidak ikut campur pun tidak ada hal yang berubah banyak.

Kembali tatapan gadis itu dialihkan ke bawah. Ke arah kolam renang yang pernah ia gunakan sebagai sarana untuk bunuh diri beberapa waktu yang lalu. Di saat ia telah membayangkan rasa sesak, nyatanya seseorang yang paling ia hindari justru menangkap tubuhnya.

"Kau mencegahnya pergi, bukan?"

Ditolehkanlah kepalanya dalam rentan waktu sepersekian detik. Bervariasi pertanyaan muncul di dalam benak (Y/n). Pertanyaan yang tidak akan terjawab jika tidak ia lontarkan kepada si narasumber. Kalut akan perasaan itu, (Y/n) pun memutuskan untuk mengatakannya.

"Dari mana kau mengetahuinya?"

Kini giliran Clove yang menoleh ke arah (Y/n) dalam waktu sepersekian detik. Tidak menyangka jika akhirnya dirinya mendapatkan respon lain selain lirikan tajam dari (Y/n).

"Aku hanya menebaknya. Rupanya tebakan itu merupakan fakta, ya?" Ia bergumam di kalimat terakhir yang ia ucapkan.

"Memang mengesalkan, namun benar," balas (Y/n). "Menurutmu, mengapa aku bisa melakukannya tanpa berpikir panjang lebih dahulu?"

Dengan perlahan, Clove menoleh pada (Y/n). Sesaat setelahnya ia pun terkekeh pelan. Kesal karena tak mendapatkan jawaban, (Y/n) hanya mengepalkan tangannya.

"Gerak refleks. Kau sendiri yang pernah mengatakannya padaku.* Tidak mungkin jika kau lupa, 'kan?" ujar Clove sesaat kemudian. *(Chapter 11)

"Ya, ya. Aku akui ingatanmu yang hebat itu. Tetapi, kau sendiri malah tidak bisa mengingat siapa saja tuan-tuanmu yang sebelumnya," cibir (Y/n), lebih ke arah sarkas.

Decakan yang keluar dari dalam bibir Clove membuat (Y/n) yakin jika lelaki itu pun merasakannya. Hanya saja, ia memilih untuk diam dan menatap ke arah sang bulan purnama yang tampak terang. Meskipun ia hanya meminjam sinar sang mentari, nyatanya satelit alami planet Bumi itu tetap menjalankan tugasnya secara totalitas.

"Hei, Clove."

Tanpa mengatakan apapun, Clove menoleh pada (Y/n). Menunggu perkataan selanjutnya yang akan gadis itu katakan melalui bibirnya.

"Apakah yang kulakukan selama ini sudah benar?"

***

━━ # . 'Dancing in the Shadow ✧ Jujutsu KaisenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang