10

37.9K 3.2K 79
                                    



Senja telah berakhir menyapa. Menyisakan sesak di dada bagi para perindu jiwa yang tak kunjung saling menyapa.

Terhimpit dengan rasa bosan yang tak kunjung berkesudahan.

Terhalang lautan amarah yang tak kunjung sudah.

Seorang wanita kini tengah berdiri.

Menyambut sunyi dengan berlinang air mata karena tak ingin dimiliki selain dari lelaki yang sangat ia cintai.

Ia mengadu pada takdir akan cintanya yang tengah salah parkir.

Gadis itu mengaduh, berharap keluh tak berujung aduh.

Ia hanya terdiam pasrah kala seorang pujangga datang dengan kepastian meski bukan dirinya yang didambakan.

Sejak kedatangan keluarga besar Habibi ke kediamannya. Nafisah hanya bisa duduk menepi.

Merenungi nasib karena tak Sudi bersanding dengan ia yang tak dicintai.

Bahkan untuk menatap Habibi pun sungguh ia merasa jijik.

Habibi yang sesekali berusaha mencuri pandangannya sembari tersenyum manis melihat Nafisah yang sudah rapih memakai gaun putih pilihannya.

Nafisah mengutuk dirinya sendiri.

Berkali-kali ia mencari cara agar berlari. Namun, akhirnya tijalikeuh sendiri.

"Tolong panggilkan Nafisah," titah Papah Kamil saat bapak wali hakim sudah tiba dan sudah siap melangsungkan akad nikah malam ini.

Bi Ningsih menganggukkan kepalanya patuh. Ia segera berlari mencari di mana keberadaan Nafisah saat ini.

"Non," panggil Bi Ningsih.
"Sudah di tunggu Tuan di bawah. Sebentar lagi acara akad nikahnya mau dimulai"

Nafisah memeluk erat Bi Ningsih.
Mencurahkan segala kesedihannya.

"Bukan dia Bi," bisiknya semakin terisak.
"Bukan dia yang Nafisah mau. Bukan dia yang Nafisah tunggu."

Bibi mengelus kepala Nafisah yang sudah tertata rapih dan terlihat cantik bagi siapapun yang memandangnya.

"Percaya sama bibi. Tuan tidak mungkin salah memilihkan calon pasangan. Apalagi buat Non Nafisah. Putri satu-satunya," ucap Bibi mencoba memberikan pengertian akan kasih sayang Papah Kamil kepadanya.
"Ayo, Tuan sudah nunggu di bawah."

Nafisah Kini memaksakan diri meski harus berjalan sedikit sempoyongan.

Nafisah dipersilakan duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh panitia dan sudah ditemani ibunda Habibi.

Mamah Sinta menatap kagum Nafisah yang terlihat begitu cantik malam ini.

Sedangkan Habibi, pria itu sudah berada di depan bersama Papah Kamil dan juga para saksi karena acara akad nikah akan segera di mulai.

•••

Suasana begitu hening saat kedua lelaki pilihan itu kini tengah saling berjabat tangan.

Sedangkan Nafisah yang menyaksikan bagaimana tegapnya punggung seseorang yang akan mengikrarkan janji suci itu hanya bisa terisak hebat dan kembali menenggelamkan wajahnya.

Tak menyangka bahwa pada akhirnya ia akan bersanding dengan seseorang yang sama sekali tidak ia cintai. Bahkan baru beberapa saat mengenalnya.

Papah Kamil mulai mendengarkan titah Bapak Penghulu dengan seksama.

Ia menarik napasnya perlahan-lahan dan mulai mengikuti arahannya.

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Ahmad Habibi Gusti Prawira Putra bin Muhammad Surya Prawira Putra dengan putri saya Nafisah Sukma Fariha binti Muhammad Kamil Hidayatullah dengan mas kawin emas 5 gram dan seperangkat alat sholat dibayar T U N A I."

"Saya terima nikah dan kawinnya Nafisah Sukma Fariha binti Muhammad Kamil Hidayatullah dengan Mas kawin emas 5 gram dan seperangkat alat sholat dibayar T U N A I."

"Bagaimana para saksi S A H?" tanya Bapak Penghulu kepada para Saksi dan juga tamu undangan yang hadir menyaksikan acara akad nikah malam ini.

"S A H," ucapnya serentak. "Alhamdulillah," ucap Para hadirin di sekitar ruangan diikuti Habibi yang tengah menengadahkan tangan, mengusapkan tangan ke wajahnya dengan penuh penghayatan.

Habibi tahu, kini ia memikul beban yang sangat berat.

Ya, seorang anak perempuan yang selama ini diperjuangkan ayahnya kini semua beban dan tanggung jawabnya beralih di pundaknya.

"Ayo Nak Nafisah, Mamah anterin kamu ke depan untuk menyambut suami kamu," ucap Mamah Sinta.

Nafisah membuang napas kasarnya. "Tunggu ... tunggu, suami?" gumam Nafisah di dalam batinnya.
"Berarti gue sekarang udah resmi jadi seorang istri?"

"Nafisah ayo," ajak Mamah Bela melihat Nafisah yang hanya terdiam.

Perlahan Nafisah berjalan ke arah Habibi. Bahkan pria itu kini tersenyum simpul kepadanya.

Nafisah berusaha bersikap baik agar images di keluarga besarnya tetap terjaga sebagai wanita yang anggun dan bersahaja.

Ia meraih Punggung tangan Habibi kemudian menciumnya.

Sementara Habibi mengecup halus puncak kepala sembari membaca doa yang telah lama ia pelajari jauh-jauh hari.

Sempat memberikan tatapan tajam sembari membuka lebar lubang hidungnya bak patkai yang tengah kesal karena menahan lapar.

Nafisah kembali tersenyum manis, saat Papahnya menatap tajam dan memberikan kode agar bertindak sopan di depan Habibi dan juga para tamu undangan.

Seolah tak ingin melewatkan setiap kesempatan.

Habibi segera menggenggam erat tangan Nafisah.

Iya, sangat erat.

Bahkan Habibi kini tengah mengulum senyumnya. Merasakan kebahagiaan karena pada akhirnya ia bersanding dengan wanita yang sudah ia tunggu sejak lama.

Sejak pertama bertemu dengan Nafisah kala itu.

Nafisah terlihat kesal karena Habibi dengan lancang menggenggam erat tangannya.

Nafisah berusaha menghempaskan tangannya, namun tidak bisa.

Genggaman tangan Habibi begitu erat.

Kini ia hanya bisa menatap geram wajah Habibi yang tengah tersenyum simpul kepadanya.

"Kalau lo kira gue bakalan ngelepasin tangan ini dengan mudah ... lo salah," ucap Habibi meski Nafisah kini tengah memalingkan wajahnya.

"Mulai sekarang, gue bakalan terus genggam tangan lo. Kemanapun lo pergi."

•••

Instagram/TikTok : @setiawantuz

Dear Habibi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang