41

17.5K 1.3K 42
                                    



Habibi masih terdiam, ia sama sekali tidak mengindahkan permohonan maaf dari Nafisah kepadanya.

Melihat Habibi yang semakin mendiamkannya.

Nafisah semakin dibuat kalang kabut.

Ia menatap bingung pada dirinya sendiri.
"Ngomong dong Bi please. Gue tuh nggak bisa diginiin," ucap Nafisah semakin mengiba, bahkan ia hampir saja menangis karena tidak tahu kalau Habibi akan semarah ini setelah membiarkannya menunggu lama dan asyik sendiri dengan adiknya.

"Bi, kalau lo mau marah sama gue, marah aja nggak apa-apa. Asal jangan diemin gue kaya gini. Gue nggak bisa. Gue janji nggak bakalan buat lo lama nungguin gue lagi."

Habibi masih mengalihkan perhatiannya.

Membiarkan Nafisah merengek meminta maaf kepadanya berkali-kali tanpa henti.

Membiarkan Nafisah seperti dipukul karena kesalahannya.

Nafisah menundukkan kepalanya pasrah.

Ia tidak tahu harus dengan cara apalagi, supaya Habibi mau membuka suaranya.
"Bi, apa kesalahan gue fatal banget ya. Sampe lo semarah ini sama gue?" tanya Nafisah berharap Habibi mau menjawab pertanyaannya, walaupun hanya satu kata yang keluar dari mulutnya.

Habibi menatap tajam Nafisah.
"Ya," jawab Habibi singkat.
"Gue marah sama lo ... PUAS," ucap Habibi penuh penekanan.

Sungguh, Nafisah sangat ketakutan.

Ia tidak menyangka bahwa pada akhirnya ia bisa melihat wajah amarah seorang Habibi yang selama ini begitu sabar menghadapinya.

Yang selama ini begitu perhatian kepadanya. Memaklumi segala salah dan kurangnya.

Ia semakin menundukkan kepalanya takut dan tidak sadar mengeluarkan air matanya kecewa karena telah membuat Habibi begitu marah kepadanya.

Habibi yang melihat ekspresi wajah Nafisah seperti itu segera tersenyum jahil.

Ia tidak tega melihat Nafisah kini bersedih karena ulah jahilnya.
"TAPI BOOONG," ucap Habibi terkekeh lepas membuat Nafisah membulatkan matanya kesal.

Nafisah tidak habis pikir, racun apa yang masuk ke dalam tubuhnya sampai bisa-bisanya dia diprank seperti ini, padahal ia sudah sangat panik dan ketakutan.

"Ihhh," ucap Nafisah sembari menjewer kuping Habibi keras. Habibi meringis kesakitan.
"Sumpah Bi, ini nggak lucu," ucap Nafisah terlihat sangat kesal.
"Kalau gue jantungan gimana," ucap Nafisah sembari menghembuskan nafasnya lega.

Habibi masih terkekeh lepas.
"Iya, maaf. Gemes soalnya lihat lo kayak tadi," ucap Habibi sembari mengelus halus puncak kepalanya Nafisah.
"Maaf ya sayang."

Nafisah mengerucutkan bibirnya.

Ia masih sebal dengan ulah lakinya kali ini. Membuat jantungnya bergetar ketakutan.
"Sayang, sayang pala lu. Tau ah," ucap Nafisah acuh tak acuh. Ia berusaha mengabaikan pujian Habibi kepadanya.

Habibi segera mengusap halus wajah Nafisah. Meminta maaf karena sudah menjahilinya tadi.
"Lihat sini dong Fis. Dimaafin nggak? Jadi ke Monas kan?"

Nafisah menganggukkan kepalanya saja.
"Iyaaaaaa, terserah."

Oke Fine, terserah.

Itu adalah senjata para perempuan yang selalu bikin kepala pria pusing tujuh keliling saking sulitnya mendefinisikan maka kata-kata ajaib itu.

"Hmmm."

Habibi tersenyum manis, walaupun Nafisah masih menekuk mukanya kesal. Dengan cepat Habibi segera melajukan mobilnya untuk sekedar menghabiskan waktu berdua bersama Nafisah di tengah senja menyapa.

Dear Habibi [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang