laughter | 25

767 48 5
                                    

"Gimana sekolah kamu?" Tanya pria paruh baya itu lalu melahap roti panggang selainya.

Jungkook kecil menyeka mulutnya sehabis meneguk susu sebagai sarapan, lalu menjawab pertanyaan dari sang ayah. "Menurut Ayah?"

Pria yang dipanggilnya 'ayah' itu menatapnya lekat-lekat, masih menemukan putra semata wayangnya masih dalam sikap yang membangkang. Sejak peristiwa itu, perbedaan sikap anak semata wayangnya terlihat signifikan.

"Jawab dengan benar."

"Gak sebaik sebelum kejadian itu," jawab Jungkook tidak acuh.

Deruan napas yang terasa berat itu sampai di telinga Jungkook, mengetahui jika hujaman keluhan akan segera menyerang. "Sudah berapa kali ayah bilang, masalah itu sudah ayah usahakan sebaik mungkin. Malah kamu sendiri yang mempersulit semuanya."

"Apa yang ayah sebut 'sebaik mungkin' ? Nutup mulut semua wali murid yang terlibat sampai wali korban? Gak waras," hina Jungkook.

Tatapan tajam itu, kembali ayahnya terima. "Berani kamu sampai ngejek ayah hanya gara-gara peristiwa itu? Kenapa dengan menutup mulut para wali? Kamu tahu apa soal dunia?"

"Iya, Jungkook gak tahu apapun tentang dunia. Karena dunia Jungkook sudah hilang sejak dulu. Dunia yang harusnya ngajarin Jungkook untuk bersikap, berbagi, dan bahkan tertawa, dia pergi. Dan itu karena ayah. Jadi jangan merambatkan segala hal, ayah tahu kalau ayah selalu jadi sumber masalah di rumah ini."

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di pipi anak berumur dua belas tahun itu. Daripada meringis kesakitan, Jungkook malah meninggikan nada suaranya dan kembali membangkang.

"'Kan?! Nggak Jungkook sebut pun ayah bakal sadar kalau yang Jungkook bicarakan barusan itu tentang bunda. Nyatanya hanya pelaku yang akan bereaksi jika korbannya mulai dibicarakan. Karena itu, Jungkook minta untuk ayah jangan campurin lagi urusan hidup Jungkook, termasuk dengan siapa Jungkook temenan!"

"Ya, bisa saja. Bisa saja hal itu terjadi ... kalau kamu anak tahu diri! Ayah tau hubungan kamu dengan anak sialan yang sudah mati itu, apa-apaan?! Ayah sudah cukup sabar dengan tingkah menjijikkan kamu, dan sekarang apa yang ayah dapat?!"

Jungkook yang masih belia, dicap sembarangan oleh sang ayah sendiri. Alhasil, seorang anak yang bahkan belum bisa mengontrol emosi itu hanya bisa berusaha menahan buliran air mata yang perlahan menetes. Meski pada akhirnya tangisan itu tetap jatuh.

"Bunuh Jungkook kalau gitu. Lagi pula, gak ada lagi yang harus Jungkook jadikan alasan untuk tetap hidup. Dengan begitu juga, ayah bakal bahagia 'kan?"

"Omong kosong. Jangan harap mau mati sebelum aku yang mati," tegas laki-laki paruh baya itu seraya melesetkan pisau makan ke arah Jungkook.

___

Lisa kembali meratapi koper yang penuh akan pakaiannya, memikirkan apa lagi yang harus ia bawa esok. Berbagai barang miliknya yang telah ia masukkan, bahkan masih menyisakan cukup ruang dalam sebuah koper.

Penerbangan yang masih ia ragukan untuk dilakukan, hanya memberikannya kesempatan di hari ini untuk melakukan kegiatan yang menjadi prioritasnya saat ini.

Lisa bersiap untuk pergi sendirian, tidak lupa dengan printilan yang sudah ia siapkan. Minhyuk yang sedang dalam dinas luarnya, tidak bisa ia mintai bantuan untuk mengajaknya berkeliling kota kecil ini. Jangankan memintai bantuan, tetangganya itu bahkan tidak tahu mengenai kepergiannya besok. Lisa tidak ingin Minhyuk mengacaukan pekerjaannya hanya karena perihal kepergiannya. Karena ia yakin, Minhyuk akan meminta jatah cuti yang sudah habis untuk mengantar dirinya ke bandara nanti.

Di sisi lain, Jungkook masih dalam lamunan setelah bangun dari tidur yang tidak begitu menenangkan. Setelah mengabaikan kedatangan Lisa ke rumahnya, laki-laki itu nyatanya masih dalam kelilingan rasa bersalah. Rangkaian kata yang seharusnya ia katakan kepada gadis itu beberapa saat lalu, sia-sia ia susun.

Sorot mata yang tidak terlihat sedikit pun jiwa yang menguasai. Setelah lambat laun ia terduduk diam di salah satu sisi kasurnya, terulang kembali kalimat yang gadis itu ucapkan lewat telepon. Nada suara Lisa yang seperti biasa ia dengar, bahkan bisa terdengar menyakitkan.

Di sela lamunannya, dering alarm lalu mengalihkan perhatiannya. Alarm itu sengaja ia atur beberapa hari lalu untuk mengingatkan dirinya akan agenda yang harus ia lakukan hari ini.

Tidak begitu lama setelah laki-laki bertubuh jangkung itu untuk bersiap, ia lalu menancap gas motornya untuk pergi ke tempat tujuan. Waktu yang ia pilih memang sengaja yakni saat larut malam.

Jungkook menginginkan angin kosong yang bersama kesunyian. Tentu saja, ia memiliki tujuan di perjalanan kali ini. Tempat yang Jungkook tahu betul, dapat memberikannya ketenangan sementara.

Beberapa selang waktu kemudian, ia akhirnya sampai di satu-satunya kafe yang ia kunjungi di kota ini. Sepi pengunjung, hanya pemandangan gelap malam dan instrumen lagu yang diputar di sana.

Akan tetapi, ada yang berbeda pada kunjungannya kali ini. Jika pada setiap kunjungan ia duduk di dalam ruangan, kali ini Jungkook memilih di luar.

Laki-laki itu kembali terbawa suasana. Masalah hidup yang tak kunjung usai ternyata tidak bisa ia lupakan begitu saja, meski untuk sebentar.

Hingga akhirnya ia mengeluarkan sebatang rokok dari kotaknya. Dengan api yang sudah ia siapkan, Jungkook mulai menjetikkan jempolnya ke korek. Rokok yang mulai disertai dengan api, mulai ia "nikmati".

Sudah sejak lama baginya tidak melakukan kebiasaan buruk ini. Terakhir kali sejak ia berusia 15 tahun. Dengan alibi remaja labil kebanyakan, kebiasaan itu sempat berhenti.

Entahlah, apakah pada malam ini juga alasan yang ia gunakan untuk merokok juga sama dengan dirinya pada beberapa tahun silam?

Pesanannya sudah datang, segelas caramel macchiato. Pesanannya disertai dengan kertas dari pramusaji kafe itu.

Jungkook yang kebingungan dengan keberadaan surat itu di mejanya malah membuat pramusaji tersebut mendengus kesal. "Lah, kalian tuh gimana sih, masa baru pacaran beberapa bulan aja udah ga ngobrol terus jadinya main surat-suratan?"

"Maaf, tapi saya—"

"Eh Mas, lo syukur-syukur punya pacar ... kok diabaikan? Gue aja bisa lihat kalau mbanya masih sayang. Dia sampe ngasih ke sini doang buat lo." Pramusaji itu lantas berdecih meninggalkan Jungkook yang baru menyadari suatu hal.

Siapa lagi wanita yang ia pernah ajak ke sini jika bukan Lisa?

Surat yang masih tersimpan rapi. Permukaan amplop yang berwarna coklat, tidak terdapat seutas kata di atasnya. Membuat Jungkook semakin penasaran akan isi di dalamnya.

[insert photo]

Laughter - LISKOOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang