28. Problematika

753 65 80
                                    

Vote, komen, dan bantu share, ya. 😘

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Flo. Diam-diam di saat Bu Wenda sedang menulis di papan tulis,  Flo menukik tangannya saat menarik ponsel di bawah kolong meja.

Istirahat nanti kita ketemu di perpus, Flo. Ada yang perlu Abang bicarain sama lo.

Pesan itu dari Rafandra.

Flo berpikir cukup lama, apa perlu membicarakan sesuatu di sekolah? Bukankah di rumah juga bisa? Bagaimana jika ketahuan oleh orang lain.

Oke.

Tapi jari tangannya tidak sejalan dengan pikiran. Tentu jangan menyalahkan Flo, jarinya saja yang salah. Oke?

Bagus.

Flo melongokkan kepalanya di pintu perpus. Memastikan keadaan sekitar yang ternyata sepi. Tidak ada siapapun bahkan penjaga perpus pun tidak ada di sana. Syukurlah, Flo akan menunggu Rafandra di rak paling pojok. Semoga saja tidak ada cicak putih yang menguping.

"Dor!"

Flo tersentak, saat pipinya ditusuk jari seseorang dari samping.

"Bang Fandra, aku pikir jurig." Flo memukul pelan lengan Rafandra.

"Jurig apaan?"

"Hantu, masa gak tahu?"

"Gak, gue tahunya lo ada di sini. Just it! Gak kepikiran yang lain."

"Lah, iya, emang cuma saya yang ada di sini. Gak ada Bang Arun, Bang Gara, Bang—"

"Ssst." Rafandra menyimpan telunjuk di bibir Flo. Lantas menarik tangan gadis itu ke bagian rak paling pojok -- tempat yang sempat terlintas di pikiran Flo.

Bukan apa-apa, Rafandra hanya ingin berbicara dengannya. Dan tidak boleh ada siapapun yang melihat.

"Gue mau minta maaf sama lo soal se-malem," ujar Rafandra to the point. Waktunya tidak banyak. "Lo maafin gue, 'kan?"

Flo tertegun. Perihal semalam jika ditanya masih ingat, tentu Flo masih mengingatnya. Bagaimana Rafandra memaksa dan bagaimana Flo berpikir mungkin ia pun bersikap tidak baik pada Abang tertuanya ini. Oleh sebab itu Flo mengangguk. "Iya, gak apa-apa, kok. Saya maafin."

Sudut bibir Rafandra berkedut. Ia menjawil pipi Flo gemas. "Thank's, ya, gue seneng dengernya."

"Gue janji, gak akan maksa lo apa pun lagi. Lo bebas sama keputusan di hidup lo. Mau bahasa lo se-baku KBBI juga gak apa-apa Abang ladenin."

Flo sontak tertawa, hidung mungilnya berkerut sampai gigi putihnya terlihat.

"Asal lo gak merasa gak nyaman sama gue," lanjut Rafandra, nada suaranya rendah. Dan lantas dibalas anggukan polos gadis itu.

Terlalu polos atau memang berusaha tidak ingin melihat lebih lekat. Bahwa tatapan cowok di depannya, mempunyai arti dalam pandangan berbeda.

Meski beberapa detik kemudian ia menepis pemikiran itu.

Sebab Flo, adalah adik sepupunya.

.
.
.
.

My Five Brother's


Flo menuruni anak tangga satu per satu, matanya berkeliling melihat sekitar ruang tamu, luas sekali. Biasanya sebelum jam tidur atau selesai waktu belajar, dari ruang tamu sampai ruang tv akan ramai dengan tingkah para abangnya. Penghuni rumah ini hangat, hanya saja tidak dengan rajanya.

My Five Brother'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang