3. Cerita Para Pangeran 2

2.2K 155 160
                                    

"Bang, mau ke mana lo?" tanya Albirru, melihat gerak-gerik Arundaya yang sedang memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Ia terlihat seperti sedang buru-buru.

"Mau ke perpus gue, lupa hari ini mau ada ulangan. Semalem gue nggak belajar banget, sumpah." Laki-laki itu menyesap es teh nya sedikit yang tersisa setengah. "Gar, ayo kita belajar. Semalem kan lo juga gadang sama gue, se-enggaknya lo bisa ngisi tujuh dari sepuluh soal, ayo buruan."

"Tapi makanan gue belum abis Bang, baru juga mienya gue makan dua lembar. Masa gue tinggal, kan sayang." Sagara merengek, menatap mie kuah tambah telor juga cabe rawit yang masih sangat utuh.

"Sayang pala lo gundul! Lo lebih sayang sama nilai atau mie lo. Udah biar Birru aja yang abisin, lo ikut sama gue."

Seperti anak kecil Sagara misuh-misuh. Kalau sudah berurusan dengan mie-nya. Tentu Sagara tidak ingin berbagi, soalnya jika di rumah maka Sagara akan jarang menyentuh mie. Sebab keluarga Dirgantara sangat membatasi anak-anaknya mengkonsumsi mie, karena terlalu banyak kalori juga karbohidrat berlebihan yang akan memicu penyakit bagi tubuh. Oleh sebab itu, batas para pangeran memakan mie hanya satu bulan satu kali.

Sedangkan untuk manusia semacam Sagara yang sangat menyukai mie instan sejak ia sering datang ke warung Bu Ai, maka satu bulan satu kali rasa-rasanya seperti satu tahun sekali. Maka dari itu, Sagara diam-diam menambah porsi makan mie dalam satu bulan, dari satu kali menjadi tiga kali. Untung saja, para kakak juga satu adiknya cukup pengertian jadi rahasia kenakalannya perihal mie tidak pernah terbongkar.

Saran Arundaya perihal mie Sagara, seketika membuat mata Albirru berkilau, laki-laki itu hendak merebut mie dalam mangkuk dengan gambar ayam jago di pinggirnya. Namun sebelum tangan itu sampai menyentuh mangkuk tersebut, ada tangan lain yang lantas menepisnya dengan keras. "Sedikit aja lo sentuh mie gue, pulang-pulang nasib lo tinggal nama," ancam Sagara membuat Albirru mendelik tajam.

"Pelit lo, gue laporin sama Tante Ghea abis lo!"

Sagara seketika melotot sembari mendesis, ekspresi menyeramkan tapi juga menyebalkan sehingga ingin Albirru pukul. "Iya, iya, astaghfirullah. Gue cuma bercanda!" teriak Albirru buru-buru, kesal setengah mati.

"Lo juga Bang, nggak usah belajar napa. Nanti juga kalau tuh deretan soal udah ada di depan mata lo, pasti otak lo langsung bekerja ngisi jawabannya," ujar Albirru kelewat santai, oh bukan, mungkin kelewat sombong.

Arundaya seketika berkacak pinggang. "Iya bisa, kalau IQ gue lebih tinggi dari pada lo!" Semua orang bahkan ke-empat pangeran tidak pernah menyangkal bahwa Albirru memang pintar. Lebih pintar dari Sagara maupun Arundaya. Berbeda cerita dengan Rafandra dan Jenggala sebab mereka berbeda angkatan.

Ketika mengerjakan soal matematika, yang dilakukan Albirru hanya diam, membaca soal, kemudian langsung mencoret angka jawabannya, tetapi tidak sampai mencorat-coret kertas kosong untuk merangkai rumus sampai menemukan hasilnya.

"He he." Albirru cengengesan. "Ya udah, deh, Bang, semangat belajar aja yak. Keripik gue belum abis, nih, jadi gue nggak ikut." Albirru mengangkat satu tangannya. "Bu Ai cantik, semua makanannya nanti saya yang bayar, yak."

"Siap Nak Bir," sahut Bu Ai dari dalam.

Arundaya kembali melihat Sagara. "Ayo!"

"Lo duluan deh tar gue nyusul, mau abisin dulu mie-nya. Perut gue udah keroncongan, nih."

Arundaya akhirnya menyerah. "Yaudah terserah, tar lo nyusul. Otak lo harus dilatih biar IQ lo nggak kelelep." Kemudian pergi meninggalkan Albirru dan Sagara. Sedangkan Sagara langsung menggerak-gerakkan bibirnya ke bawah mengejek Arundaya. Itupun tidak sampai ketahuan Albirru.

My Five Brother'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang