Sebuah pendopo—berupa tempat terbuka dengan atap dan ada panggung tinggi di depannya—di depan gedung Fakultas Bahasa dan Seni atau FBS, terlihat tidak terlalu ramai. Mahasiswa yang biasa menggunakan tempat itu sebagai ruang untuk latihan menari atau sekadar nongkrong demi WiFi gratis, satu per satu tampak pergi. Mungkin karena hari dekat memasuki waktu Magrib.Bukan berarti tempat itu sepi di malam hari, justru tempat itu semakin ramai jika malam. Hanya saja biasanya orang-orang menggunakan kesempatan waktu Magrib untuk pulang sebentar—mandi atau makan—sebelum akhirnya kembali lagi. Entah itu untuk latihan seni atau berkumpul bersama teman-teman.
Di salah satu sisi pendopo, ada meja dan kursi-kursi yang tersusun. Di atas meja itu tersaji aneka kue, termasuk kue ulang tahun, puding, serta minuman sirup.
Vernon duduk di salah satu kursi sambil menatap Aya yang berdiri gelisah. Sedari tadi gadis itu terlihat tidak tenang. Sedangkan teman-temannya yang lain seperti Jodi, Gio, Aalisha, Mike, Jery dan Temmi asyik bercanda sambil sesekali melirik jam karena khawatir.
"Si Vanya gak lagi mengerjai kita, 'kan?" Jodi memerlihatkan jam di tangan kepada Vernon yang duduk berjarak tiga kursi darinya. "Kita sudah menunggu dari pukul empat."
Semua orang menghujani Vernon dengan tatapan, berharap pria itu tahu jawabannya. Namun, pria itu hanya memalingkan wajah datarnya sambil meminum sirup.
Tidak menyerah, kini serangan tatapan beralih pada Aya. Ya, semua tahu bahwa dari dulu Vanya bersahabat dengan Vernon dan Aya.
Ditatap seperti itu membuat Aya kesal, karena ia sendiri juga tidak tahu apa-apa. "Dia tiba-tiba memberi kabar lewat grup kelas! Menyuruh kita membuat sambutan dan menunggu seperti ini! Jangan tanya saya, saya juga tidak tahu apa-apa. Kami tidak ada berkomunikasi lebih dari dua tahun!"
"Aduh, jangan marah, dong, Aya yang cantik," ungkap Gio sambil tertawa. Ia beralih menatap Vernon. "Kamukan calon suami Vanya, Ver. Masa gak tahu?"
Gio langsung mendapatkan tatapan tajam dari Vernon. Meski begitu, teman-temannya yang lain justru tertawa.
"Ingat dulu Jodi pernah nyuruh Vernon nikahin Vanya." Temmi yang duduk di seberang Vernon tertawa. "Terus aku bilang jangan lupa undang warga kelas."
Semua orang di sana tertawa, kecuali Vernon dan Aya. Bahkan mereka semakin menjadi-jadi.
Mike turut menimpali, "Eh, jangan-jangan Vanya sebenarnya sedari tadi sudah datang ...." Semua fokus berhasil tertuju padanya karena ucapan itu. "Diakan turunan jin."
Tawa kembali pecah. Mereka masih mengingat panggilan itu. Berbeda dengan Aya yang terlihat semakin kesal dan Vernon yang menatap dingin, karena sepertinya hanya mereka berdua yang gugup bercampur cemas.
Aalisha yang peka dengan situasi Vernon, hanya menepuk bahu pria yang duduk di sebelahnya itu. Ia tersenyum. "Vanya pasti datang," ujarnya meyakinkan. "Eh, aku ke toilet musala dulu," pamitnya kepada teman-teman lain.
Mereka terdiam sebentar sambil mengangguk, melihat Aalisha melangkah menuju musala yang berjarak sepuluh langkah dari sana.
"Assalamu'alaikum, Para penggemar ...."
"Wa'alaikumussalam ...." Mereka menjawab serentak dengan intonasi melemah di akhir salam, sambil menoleh ke sumber suara.
Semua orang terlihat terkejut, lalu berubah senang. Sementara itu, Vernon bergeming di kursi, dan Aya membeku seakan-akan kakinya tidak bisa melangkah menghampiri sahabat lamanya yang akhirnya kembali itu.
"Ailee Zevannya J!"
Mereka berdiri, menyambut Vanya.
Ya, di hadapan mereka berdiri seorang gadis dengan celana bahan hitam, blazer senada, dengan dalaman kaus dan jilbab putih. Ia tersenyum cerah, penuh rasa percaya diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazards of Love
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari Indicator of Love. Mereka salah!!! Masing-masing mereka, justru tak hanya membawa "cinta", tetapi juga "bahaya" untuk orang yang dicintai. Karena mencintai, berarti ... turut menyeret o...