12. Korban Selanjutnya

6 1 0
                                    


Saat ini Vanya hanya mematung. Ia merasa sangat hancur lebih dari dugaannya. Tidak banyak orang yang berada di dalam kontrakan Aalisha, karena polisi melarang orang-orang yang tidak berkepentingan untuk mendekat. 

"Anda tenangin diri dulu." Aya menggenggam tangan sambil mengusap punggung Vanya. "Saat Anda sudah sedikit tenang, saya antar keluar untuk nyusul Vernon. Polisi mau meminta keterangan."

Vanya duduk di kursi, rasanya ia tidak sanggup untuk berdiri. Perasaan bersalah benar-benar menyiksanya. Ia pikir dengan kembalinya ke sini, ia bisa berusaha menebus dosa di masa lalu agar penderitaannya sedikit mereda. Namun sekarang, semuanya menjadi semakin buruk. Luka baru terus hadir di hidupnya. 

Ia menoleh pelan. "Jodi?" tanyanya, terpikirkan nasib pria itu dan kelanjutan penyelidikan pacarnya.

"Teman-teman lain di sana." Aya tersenyum kecil. "Jodi jangan sampai tahu hal ini. Dia dan Aalisha sangat dekat sedari dulu."

Air mata Vanya hendak kembali menetes mendengar nama temannya itu. Matanya terpejam, berusaha mengatur napas. Ia punya sisi yang sangat kuat dan kejam, mestinya sisi itu belum hilang sekarang. Ia harus kuat,--ada bencana di depannya yang akan dihadapi--agar tidak ada lagi korban dan penyesalan.

Tangannya mengepal. Rasa marah dan kebencian memberinya kekuatan. Ia harus membalas dan tidak boleh kalah seperti ini. Ia pun berdiri. "Saya keluar sebentar." 

Langkah Vanya membawanya keluar dari kontrakan. Meski menarik perhatian polisi yang sedang mendalami TKP, Aya berusaha menjelaskan untuk meminta sedikit pengertian. Ya, mereka sebagai saksi masih tertahan di sana. Sedangkan jenazah Aalisha dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi. Siapa tahu Aalisha sudah dibunuh sebelum itu, lalu ditembak. Karena dugaan polisi sementara adalah bunuh diri--apalagi ditemukan briket yang telah terbakar di sana--, tetapi Vanya dan Vernon tidak menerima itu. 

Matanya langsung menangkap sosok Vernon yang sedang berbicara kepada dua orang pria bertubuh tegap dengan kertas dan pena di tangan. Di sisi kiri juga ramai orang-orang berkumpul dan memandang mereka dari jauh--karena tidak boleh mendekat. Di sekitar kontrakan sudah terpasang garis polisi. Rasanya keadaan sangat sunyi.

Ia menoleh ke kanan. Tidak ada apa-apa karena kontrakan ini terletak paling ujung. Gelap gulita mengisi, walau sepertinya masih ada jalan di sana--jalan lewat belakang perumahan. 

Vanya melangkah, lebih dekat ke kegelapan. Ada jalan setapak di sana, dan didominasi oleh banyak tanaman. Tubuhnya pun berbalik ketika merasakan ada seseorang berdiri di belakangnya.

Ketika berbalik, mulanya ia berpikir bahwa orang tersebut adalah Vernon atau polisi. Namun, seseorang itu terlihat menyembunyikan wajah bagian atas dengan topi jaket yang besar, serta memakai masker. Ia bahkan tidak bisa melihat mata seseorang itu karena menunduk. 

Hanya satu hal yang bisa dipastikan, dari postur tubuh, dia adalah seorang pria. Seusia atau berusia tidak jauh darinya. 

Kedua alis Vanya terangkat ketika pria di depannya tertawa, tetapi nyaris berbisik. Tawanya juga bukan suara asli, tetapi dibuat-buat berat. 

"Bagaimana kalian akan menghadapiku?" tanya pria itu datar dengan suara palsunya. "Para wanita sangat mudah disingkirkan."

Kedua tangan Vanya yang sedang bersarang di saku celana pun bergetar. Kepalanya mendongak dengan mulut menganga, tetapi belum bersuara. "Anda ...," lirihnya, sulit terdengar.

Setelah mengatakan itu, pria tersebut pergi, menempuh jalanan gelap yang sunyi seperti menghilang ditelan kegelapan malam begitu saja. 

Mulanya Vanya berpikir jika pria itu hanyalah halusinasinya. Namun, sontak rasa takut bersarang dalam dirinya ketika Vernon berjalan menghampiri. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 12 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang