3. Kasus Baru

12 5 0
                                    

Aya memeluk diri sendiri, sebelah tangannya bergerak-gerak untuk mengusap lengan. "Oke, tolong dipercepat saja, Bapak Vernon Adrich." Senyumannya terlukis paksa. "Saya besok ada kuliah pagi."

Telunjuk Vernon langsung mengarah ke foto selanjutnya. "K.A, mahasiswi Hukum tahun ke-4, beliau seniorku." Kepalanya tertunduk sejenak, pikirannya berat dengan mata menerawang seperti mengingat-ingat. "Beliau mahasiswi yang aktif, suka ikut demo dan membela orang-orang." Ia beralih memandang Aya yang terlihat tegang dan Vanya menatapnya santai dengan sebelah alis terangkat. "Ya, banyak kabar beredar kalau beliau suka ke klub malam, tetapi kepribadiannya di kampus sangat baik ... beliau juga cantik dan menarik."

Aya melongo menatap foto di depan, ia mengangguk polos. "Sangat berkarisma."

"Anda bisa berhenti memuji gadis lain di depan saya, Non?" tanya Vanya setengah kesal. "Lagian beliau sudah tiada, kenapa Anda menyukainya?"

Sontak Vanya meringis ketika tangan Aya memukul kuat kepalanya. Ia mengusap kepala sambil menatap takut sahabatnya itu yang tiba-tiba menyerang.

"Justru itu! Beliau sudah tiada, kenapa Anda mempermasalahkan?" tanya Aya kesal. "Jangan mempersulit Vernon. Bersikaplah profesional, dasar!"

Bibir Vanya mengerucut, ternyata Aya semakin menyeramkan ketika kesal. Ia pun beralih menatap Vernon yang terdiam melihat mereka. "Maaf, Non. Silakan dilanjutkan."

"Kasus K.A terjadi dua minggu setelah kasus P.A." Tangannya mulai menempel beberapa foto di papan tulis. Foto-foto yang terlihat menyeramkan, membuat Aya refleks menutup mata. Berbeda dengan Vanya yang semakin tertarik melihatnya. "Malam, pukul dua dini hari, beliau ditemukan tewas di jalan depan gedung Pascasarjana Teknik."

"Depan fotocopy itu?" tanya Aya, sebelah tangannya terangkat untuk menutup pandangan ke papan tulis, ia hanya menatap Vernon. "Saya pernah dengar beritanya, tetapi seperti kabar burung saja. Jadi, itu nyata?"

Vernon mengangguk kecil. "Beliau ditabrak mobil, tetapi berkali-kali."

"Seperti mobil itu maju dan mundur berulang kali untuk melindas jasadnya," kata Vanya pelan, ia menatap foto jasad yang hancur di papan tulis. "Dugaan tersangka?"

"Pacarnya," jawab Vernon. "Di malam itu mereka berkelahi, jadi pacarnya menurunkan korban di sana, tidak sampai kosan." Ia menggeleng kemudian. "Sudah diperiksa kepolisian, pacarnya bukan pelaku. Dugaan mobil yang dipakai pelaku juga ditemukan sudah dibakar gak jauh dari jasad korban." Sebelah tangan Vernon meraih penggaris panjang di atas papan tulis, lalu mengarahkan benda itu ke tangan Aya yang sedari tadi terangkat di depan mata. "Terbiasalah dengan hal-hal seperti ini, Aya. Aku cemas jika kamu masih mudah takut, banyak hal yang lebih mengerikan di depan sana."

Aya menelan ludah. Tangannya refleks kembali terangkat, tetapi Vernon sudah siap dengan penggaris dan kembali menurunkan tangannya. "Baiklah! Lagian tidak ada hal yang lebih mengerikan selain dikhianati sahabat sendiri!" serunya semangat, ia bahkan berdiri dan menyingsingkan lengan. "Maaf Vanya, jangan tersinggung," ucapnya, menoleh sebentar ke arah Vanya, lalu berjalan mendekat ke papan tulis. "Saya akan berguna di tim ini."

Kedua alis Aya terangkat untuk menahan matanya yang otomatis terpejam. Ia mengintip foto-foto itu. "Oh! Dia!" Matanya sontak melebar melihat foto korban yang ketiga. "Dia Kak Li--"

"L.S, mahasiswi Pendidikan Keolahragaan tahun ke-2," sela Vernon. "Atlet renang, tomboi."

"L.S sering membagikan postingan tentang pola hidup sehat di media sosialnya." Aya berbalik, memunggungi papan tulis. Matanya menatap Vernon dan Vanya antusias. "Kasus beliau meninggal di kolam berenang sebulan yang lalu sangat heboh. Bahkan kolam renang Fakultas Ilmu Keolahragaan masih ditutup sampai sekarang."

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang