9. Balas Dendam

8 5 0
                                    

Aalisha benar-benar pulang ke kontrakan. Napasnya terengah-engah, berjalan sempoyongan dengan tubuh bergetar. Ia bergegas ke nakas di kamar, dan membuka laci paling atas dengan cepat. 

Matanya melotot memerhatikan sekitar dengan awas, telapak tangan yang bergetar menyuap dua butir obat penenang yang selalu dikonsumsinya.

"Aku tidak salah," gumamnya. Tubuhnya ambruk, ia tertunduk. "Aku tidak membunuhnya."

Seketika sorot matanya berubah tajam, memandang ke arah tas di depan. Ponselnya berdering, membuatnya merinding.

Ia sangat takut, tetapi harus menghadapinya.

Nomor tidak dikenal.

"Aku ... tidak takut padamu!" serunya berang dengan suara bergetar.

Terdengar balasan tawa dari seberang. Kamu juga cantik. Kamu setelah ini.

"Kamu siapa!?" teriak Aalisha. "Aku akan melaporkanmu ke polisi!"

Silakan, dan aku akan turut menyeretmu. Ingat, kamu memulai ini.

Aalisha menggenggam kuat ponsel, ia berteriak lalu melempar ponsel tersebut ke dinding di depannya hingga memantul ke lantai. 

Tatapannya berubah putus asa menatap ponsel. Layarnya pecah membentuk garis seperti kilat. Namun, layarnya masih menyala, seiring dengan nada dering yang kembali terdengar.

"Jangan ...," ia menangis, memeluk lutut, "jangan lagi ...."

***

Vanya terlihat bingung sambil menatap layar ponsel. Ia sedang tiduran di kasur Aya, sedangkan si pemilik kosan duduk di dekat meja belajar, sibuk berkutat dengan laptop. 

"Kok Aalisha gak angkat, ya?" Ia bertanya-tanya. Kakinya yang terjuntai digoyang-goyangkan. "Padahal sewaktu kita di kantin tadi, dia terdengar sedang berbohong. Suaranya sedikit bergetar, dan dia berusaha menahan itu." Ia pun berbalik ke kanan, menatap punggung Aya. "Suaranya juga menggema, seperti di toilet lengang yang kosong."

Jari-jari Aya yang menari di atas keyboard pun terhenti. Ia berpikir sejenak. "Biasa aja, Van," balasnya.

"Ada sesuatu kayaknya, Ya."

"Mungkin karena Anda harus selalu waspada, jadi suka berpikir ekstrem terhadap sesuatu." Aya menoleh ke belakang, sahabatnya itu juga sedang menatapnya. "Maaf, lho, ya."

Bahu Vanya terangkat sekilas. Ia berbalik memunggungi Aya. "Saya tidur dulu sebentar."

"Eh, tidur sore gak baik!" cegahnya. Namun, Vanya sudah tidak bergerak, dan terlihat cuek. Aya memilih untuk kembali menatap layar laptop. Banyak hal yang harus dikerjakannya.

Sudah lima belas menit berlalu, tetapi bagi Aya itu baru lima menit. Menghabiskan waktu di depan monitor membuat jalannya waktu tidak terasa baginya, karena berlalu begitu saja. 

Tubuhnya sedikit terlonjak ketika ada tangan yang memegang sebelah bahunya. Ia menoleh, dan mendapati Vanya berdiri di belakangnya. "Ya, ampun, kirain apa, Van. Anda ngagetin saya." Ia mengembuskan napas lega. "Ada apa?" tanyanya, tetapi kembali fokus pada laptop.

Alisnya bertaut saat tangan Vanya tidak lepas dari bahunya. 

Tunggu.

Ia mengingat-ngingat. Mampus! 

Ia menoleh pelan, takut-takut. Seketika Aya berdiri dan menghindar cepat saat tinju Vanya melayang ke arahnya. Ia lari menjauh, memanjat ranjang dan berdiri sambil memeluk guling. 

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang