Vanya dan Vernon berjalan beriringan menyusuri jalanan kompleks yang lengang. Suara sepatu yang menapaki aspal mengisi keheningan yang tercipta di antara mereka. Vanya maupun Vernon sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sulit untuk mengungkit dan membahasnya, tetapi masalah tidak menguap begitu saja meski berusaha dihindari.
"Jadi ... Anda sudah tahu kalau saya berada di sini, dan tempat tinggal saya?" tanya Vanya pelan dengan senyuman mengembang. Ia harus berhati-hati karena pria itu bisa saja seperti bom waktu untuknya.
Tidak. Sebenarnya mereka sama, dan entah apa yang sedang direncanakan oleh Vernon. Namun yang pasti, apa yang direncanakan Vanya tidak ada lagi kaitannya dengan pria itu.
Ya, ia harap. Walau harapan itu sepertinya memudar ketika melihat sosok tadi.
Vernon terlihat tenang. Ia telah memastikan jika jalan di depan aman sehingga bisa memandang gadis di sebelahnya. "Waktu itu aku menggantikan teman mengirimi paket. Aku tidak sengaja melihatmu, Ai. Aku pikir kamu punya alasan tersendiri, dan aku hormati itu."
"Ya! Saya mau memberikan kejutan!" serunya antusias. "Oya, saya kira Anda akan mendaftar di kepolisian, mengingat bakat dan impian Anda, Non."
Langkah Vernon sontak terhenti, membuat Vanya lebih dahulu selangkah darinya dan memilih untuk berhenti sambil menatap bingung. Senyuman kecil terukir di wajah Vernon. "Aku ingin menjadi jaksa. Tidak masalah cita-cita berubah, bukan?" Ia melanjutkan langkah.
Vanya menyusul, mengangguk setuju. "Keadaan ayah Anda gimana, Non?" tanyanya ketika kembali menyamakan langkah dengan pria itu.
Pandangannya lurus ke depan, sehingga tidak menyadari tatapan Vernon padanya. Sebelah tangan Vernon bergerak ke dalam saku. Di sana tangannya mengepal kuat, mengalirkan amarah yang muncul. Tatapannya juga berubah tajam. Beginikah rasanya cinta dan kebencian dalam satu waktu?
"Setelah terbukti tidak bersalah, ayah dimutasi untuk dinas di Papua," bohongnya.
Alis Vanya bertaut. "Bisa seperti itu?"
"Hm."
Senyuman di wajah Vanya tidak luntur. Di satu sisi ia merasa senang bisa melihat pria itu kembali. "Ayah Anda pasti bangga. Anda pria yang berbakat. Bayangkan besok Anda menjadi jaksa yang keren, lalu ayah Anda--"
"Bisa membahas hal lain?" Vernon terlihat tidak senang. "Jangan membahas masa depan sekarang." Ia menatap lekat. Apalagi mengungkit ayahku yang telah tiada.
Melihat perubahan suasana hati pria itu yang tiba-tiba, membuat Vanya ciut. "Maaf, Non."
"Ailee ... semua yang telah terjadi di masa lalu tidak mungkin berakhir begitu saja, 'kan?" Vernon menghentikan langkah, mereka sudah berada di dekat kontrakan Aalisha. "Aku harap kamu tidak membahayakan siapa pun lagi."
Vanya tersentak. Ia ingin marah, tetapi tatapannya justru menjadi sendu. Berubah dan memperbaiki kehidupannya terasa sangat mustahil sekarang. "Maaf." Kepalanya tertunduk.
"Kalau kamu tidak berani menebus dosa, cukup kamu tidak melakukannya kembali."
Kepala Vanya langsung terangkat, menatap pria yang lebih tinggi satu kepala darinya itu. "Tidak berani menebus dosa?" Matanya yang menatap tajam terlihat berkaca-kaca. "Semua masih tentang waktu itu, Non? Anda menyesal telah melepaskan saya dan Bang Zanu?"
Ketegangan di antara mereka terusik ketika Jodi melintas dan terlihat sangat panik. Pria itu terlihat sedikit lega melihat mereka.
"Ver! Ikut aku! Pacarku diteror!" serunya cepat. Ia beralih menatap Vanya. "Van, jagain Aalisha dulu." Setelah itu ia lari menjauh, diikuti Vernon.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazards of Love
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari Indicator of Love. Mereka salah!!! Masing-masing mereka, justru tak hanya membawa "cinta", tetapi juga "bahaya" untuk orang yang dicintai. Karena mencintai, berarti ... turut menyeret o...