Wajah Jodi pucat, ia tidak sanggup bernapas melihat mayat yang tergantung di pintu kamar kontrakan kekasihnya.
Sebelah kaki mayat itu diikat dengan kain panjang yang terikat di lubang ventilasi, sehingga posisi tubuhnya terbalik. Sebelah kaki yang tidak diikat terbuka, terlihat sudah kaku. Bahkan kekasihnya itu masih mengenakan pakaian pasien.
Ya, itu kekasihnya, walaupun seluruh wajahnya tertutupi rambut. Jodi sangat mengenalnya. Ia baru dikabari tentang kekasihnya, dan langsung menuju ke sini.
Ini jelas pembunuhan.
"Jangan sentuh apa pun!" perintahnya dengan air mata berlinang kepada ibu pemilik kontrakan dan beberapa penghuni kontrakan lain. Beruntung, mereka bisa dikendalikan, karena mengundang banyak orang bisa merusak detail TKP. "Aku sudah menghubungi polisi." Ia bahkan tidak menurunkan mayat kekasihnya, biar polisi yang bertindak.
Bunyi mobil polisi dan sirine ambulans yang datang membangunkan warga sekitar. Memecah kesunyian malam menjadi tangisan iba dan ketakutan.
Vernon datang bersama Vero dan timnya. Abangnya itu sekarang bekerja di Satreskrim semenjak pindah ke kota ini.
"Pelakunya pasti akan ditemukan." Vernon memeluk Jodi yang terduduk dengan kepala menunduk di dekat mayat kekasihnya yang saat ini langsung diselidiki oleh pihak kepolisian. "Kita harus menjauh."
"Aku gagal menjaganya," lirih Jodi. Matanya yang putus asa itu memerah dan dipenuhi air mata. "Aku meremehkan ketakutannya. Dia menanggung itu semua sendirian, kesakitan dan ketakutannya yang nyata."
"Jodi ... kamu sudah melakukan yang terbaik. Semua ini di luar kendali kita."
***
"Teretttt ... tettt ... tetttt ... tettt ...."
Vanya keluar dari kamar mandi sambil mengangguk-angguk. Ia melihat ponsel di tangan yang sedari tadi mengeluarkan bunyi musik heboh, dan bibirnya turut menyenandungkan bunyi yang sama. Tubuhnya sudah berpakaian lengkap--mengenakan satu set pakaian olahraga--, dengan handuk membungkus rambut.
Tadi ia cukup bosan dan tidak bisa tidur, sehingga memutuskan untuk mandi. Ya, mandi saja, tanpa mengganti pakaian baru.
"Brum ... brum ... brum ...." Kedua tangannya terangkat ke atas, lalu melambai-lambai seperti tanaman yang diterpa angin.
Gerakannya berhenti ketika musik di ponsel mati, berganti getaran panjang yang menandakan ada panggilan masuk. Ia melihat layar, dan mendapati nama Aya terpampang di sana.
"Assalamu'alaikum, Aya," sapanya. "Kenapa? Kangen saya?" Ia melepas handuk, dan menaruhnya di atas kasur. Suara Aya dan suara deburan ombak bersahut-sahutan, karena kontrakannya dekat dengan pantai.
Mata Vanya melotot mendengar penuturan Aya di seberang. Sahabatnya itu juga terdengar sedang menangis, dan memintanya untuk datang ke tempatnya berada sekarang ... di kontrakan pacar Jodi.
Vanya langsung mematikan panggilan tersebut. Ia bergegas keluar sambil menaikkan topi baju yang dikenakan. Langkahnya berubah cepat, lalu berlari kencang.
Ia tidak berpikir untuk menyusul Aya, tetapi ia langsung teringat Aalisha. Ya, ia harus ke kontrakan temannya itu. Untung saja jarak kontrakan mereka tidak jauh, berbeda gang saja.
Tidak sampai lima menit, ia berhenti di depan kontrakan Aalisha yang sepi. Ia mengatur napas sebentar sebelum akhirnya mengetuk pintu sambil memanggil Aalisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazards of Love
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari Indicator of Love. Mereka salah!!! Masing-masing mereka, justru tak hanya membawa "cinta", tetapi juga "bahaya" untuk orang yang dicintai. Karena mencintai, berarti ... turut menyeret o...