5. Bukan Dia (?)

8 5 4
                                    


Setelah menutup panggilan tersebut, Jodi hanya melemparkan tatapan cemas ke arah Vanya dan Vernon sebelum akhirnya bergegas lari menuju kontrakan Aalisha. Sementara itu, Vanya dan Vernon ikut lari mengikuti Jodi yang berlari ke arah gang kecil di sebelah kafe yang menuju ke belakang.

Di sisi kiri hanya ada selokan besar yang bersih, sedangkan di sisi kanan terdapat beberapa gang dengan rumah berhadap-hadapan rapi. Suasana terasa sangat sepi dan sunyi, mungkin karena hari sudah malam.

Jodi berhenti di salah satu rumah yang menghadap ke selokan diikuti Vanya dan Vernon. Mereka hanya perlu mengatur napas sebentar sehabis berlari karena sudah terbiasa dengan olahraga fisik.

Pintu di depan mereka langsung terbuka. Terlihat Aalisha yang menangis dan langsung memeluk Jodi. Meski canggung, Jodi hanya mengusap hati-hati kepala gadis itu sambil menenangkan.

Tersadar dengan sikapnya, Aalisha melepaskan pelukan, lalu menghapus air mata. "Maaf," lirihnya.

"Kita bicara di dalam, ya?"

Aalisha hanya mengangguk pelan menjawab pertanyaan Jodi tersebut. Ia masuk dan duduk di sofa dekat pintu diikuti Jodi. Vernon tidak bisa tenang sehingga hanya berdiri di hadapan mereka, sedangkan Vanya berdiri di ambang pintu.

"Tadi aku lagi ngerjain tugas di sini." Aalisha memulai cerita. Tampak banyak kertas berserakan di atas meja. "Tiba-tiba ada yang matiin sekring sehingga listrik di kontrakan padam. Saat aku berbalik, aku lihat ada yang mengintip di balik jendela itu." Ia menunjuk jendela kaca di belakangnya tanpa menoleh.

Vanya yang bersandar di pintu turut memandang ke arah jendela tersebut. Ia langsung berjalan keluar, dan berdiri di dekat jendela.

"Aku hanya melihat sebelah matanya yang menyorot tajam dan menyeramkan. Dia memakai masker, dan kepalanya ditutupi topi jaket." Ia menatap Jodi. "Aku langsung menghubungi kamu, apalagi terdengar pintu diketuk kuat dengan batu, atau entahlah, tetapi pakai benda yang berat."

Alis Vanya bertaut. Berarti kejadiannya barusan dan seharusnya seseorang yang meneror itu belum jauh.

Angin berembus lembut, mengantarkan hawa dingin. Vanya hendak kembali menuju pintu, tetapi langkahnya mendadak berhenti. Indera penciumannya mencium aroma yang berbeda. Seperti aroma cat, tipis sekali.

Tatapannya berubah waspada, ia memandang lurus ke depan. Jalanan yang dilewati tadi terlihat sangat sepi. Bibirnya terangkat sedikit ketika mendengar suara pergerakan hati-hati yang halus sekali dari balik tembok kontrakan ini.

Benar saja, ada seseorang yang tiba-tiba keluar dan berjalan cepat menjauh menyelusuri jalanan di depannya. Vanya langsung lari mengejar. Namun, seseorang itu berbelok memasuki gang dan berlari sangat cepat. Melihat itu, Vanya memilih mengejar orang tersebut lewat gang selanjutnya agar bisa menangkap di persimpangan.

Sementara itu, Vernon yang hendak mengikuti Vanya menatap heran. Ia langsung menemukan jawaban saat menoleh ke arah gang di sebelahnya dan melihat seseorang yang mencurigakan--ciri-cirinya cukup mirip dengan yang disebutkan Aalisha--sedang lari menjauh. Tanpa banyak berpikir, ia langsung mengejar seseorang tersebut.

Vernon terus mengejar, walau tertinggal cukup jauh karena baru mulai berlari. Lari bukan hal yang sulit untuknya, karena sedari zaman sekolah ia selalu peringkat atas dalam olahraga atletik--karena itulah dulu ia tidak keberatan menggantikan hukuman Vanya yang harus mengejar teman-teman di kelas sewaktu pelajaran olahraga waktu itu.

Berhasil, kini ia dan seseorang itu hanya berjarak dua rumah dan hampir mencapai persimpangan pertama. Mungkin akan bertemu juga dengan Vanya sehingga mereka bisa menangkap seseorang tersebut.

Senyuman tipis terukir di wajahnya ketika seseorang itu berbelok ke kanan, dan seharusnya langsung berpas-pasan dengan Vanya karena ia tahu gadis itu baik dalam hal berlari meski sering malas melakukannya.

Hazards of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang