Angin malam berembus lembut, mengantarkan dingin yang mampu menembus helai pakaian yang dikenakan. Jam masih menunjukkan pukul delapan, tetapi suasana di lingkungan kampus sudah terasa sangat mencekam karena lengang. Hanya di satu-satu titik tertentu orang-orang berkumpul, dan belum bisa menutupi rasa sepi di lingkup kampus yang begitu luas ini.Vernon berjalan terlebih dahulu, diikuti oleh Vanya dan Aya di belakangnya. Kedua gadis itu tidak berjalan beriringan, mereka masih dalam suasana kurang bersahabat apalagi setelah perdebatan kecil di pendopo tadi.
"Non, mau ke mana, sih?" tanya Vanya heran sambil menoleh ke sekitar. Pasalnya, pria itu terus berjalan masuk ke lingkungan kampus melewati bangunan-bangunan besar fakultas yang terlihat angker, karena penerangan yang remang-remang. "Anda gak berniat apa-apain saya, 'kan? Ada Aya, loh," candanya karena mulai muak dengan keheningan sepanjang jalan.
Langkah Vernon berhenti mendadak, membuat kedua gadis itu turut berhenti. Kepalanya pun berputar ke belakang, memandang Vanya dengan tatapan datar sambil mendengkus, lalu kembali menoleh ke depan dan melanjutkan jalan.
Vanya tertawa kecil. Ia mengikuti pria itu, lalu bertanya, "Ya, ini mau ke mana? Aya juga diam dari tadi. Kalian gak berniat mengeksekusi saya, 'kan?"
"Saya juga gak tahu mau ke mana," aku Aya datar. Ia mendecih, menatap tajam punggung Vanya yang berjalan di depannya. "Percaya saja pada Vernon. Lagian, satu-satunya orang yang patut dicurigai di antara kita cuman Anda, Vanya."
"Oke, saya punya masa lalu kelam dan Anda tidak salah jika mau menghakimi saya seumur hidup Anda," ungkap Vanya pasrah dengan bahu terangkat sekilas: ya, sudah, mau bagaimana lagi.
Mereka akhirnya sampai di gedung Fakultas Teknik yang berada paling sudut belakang di antara gedung fakultas lainnya. Gedung Teknik hanya terang di bagian teras dan lantai dasar, sedangkan tingkatan atasnya gelap—lampu dimatikan untuk menghemat listrik. Cukup jauh perjalanan mereka, dan angin semakin kuat berembus.
"Nyalakan senter di ponsel kalian," suruh Vernon tanpa menoleh. Ia sendiri sudah siap dengan ponselnya, sambil mengangkat benda itu tinggi-tinggi. Arah pandangnya tertuju pada kegelapan yang tidak jauh di depan.
Walau mengikuti perkataan Vernon, Vanya tetap menggerutu, "Ini mau berburu hantu atau bagaimana? Gak sekalian aktifin kamera?"
"Jangan asal bicara!" seru Aya yang membuat Vanya terkejut. Kakinya berjalan cepat mendahului Vanya kemudian. "Anda yang di belakang."
Vernon tidak memedulikan kedua sahabatnya itu. Ia terus berjalan membelah kegelapan hingga mencapai dinding pagar kampus yang terletak di sebelah gedung tersebut. Ia berjalan ke belakang, kaki-kakinya menginjak rumput-rumput liar, bahkan dinding di sepanjang jalan tertutupi rumput yang menjalar.
"Tahu bangunan ini, Aya?" tanyanya pada Aya yang berdiri di sebelahnya. Cahaya dari ponsel menyorot sebuah pintu besi tua yang berada di hadapan mereka.
Aya pun menggerakkan ponsel ke sekeliling untuk melihat seperti apa rupa bangunan yang saat ini berada di hadapan mereka. Ia mengernyit. "Ini bangunan yang sudah lama tidak terpakai. Kenalan saya di jurusan teknik pernah bilang kalau tempat ini dijadikan gudang, dan selalu terkunci."
Bangunan yang mereka maksud itu adalah sebuah bangunan tua yang tidak luas. Berbentuk seperti cangkang kura-kura berdinding batu batako yang ditutupi lumut dan rerumputan. Tempat yang tidak terurus dan diabaikan.
"Benar." Vernon mengeluarkan kunci dari dalam saku, lalu membuka pintu besi itu. Terdengar suara engsel pintu tua ala film horor yang memecah heningnya malam. "Namun, sudah lama aku mengubah tempat ini menjadi ruang pribadi ...," ia masuk, menyalakan lampu di tempat tersebut yang hanya terdiri dari satu ruangan, "yang sekarang akan menjadi markas kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazards of Love
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari Indicator of Love. Mereka salah!!! Masing-masing mereka, justru tak hanya membawa "cinta", tetapi juga "bahaya" untuk orang yang dicintai. Karena mencintai, berarti ... turut menyeret o...