Aalisha lari menyusuri gang kecil yang sepi. Isakan tangisnya tertahan, hanya air mata yang terus mengalir deras. Ia melihat sekitar dengan cepat, sangat bergegas. Pandangannya terhenti pada musala kecil nan sepi. Ia pun memanjat pagar putih dari kayu yang berada tak jauh darinya, lalu menuju ke toilet di sebelah musala tersebut.
Langkahnya berhenti di ambang pintu. Banyak sekali dedaunan yang berserakan, serta tempat ini terlihat tidak terawat. Ia baru tahu ada bangunan yang terbengkalai seperti ini. Mungkin karena letaknya yang terpencil.
Ia masuk, berdiri di depan wastafel. Cermin lebar terpampang di hadapannya. Sepertinya pembangunan tempat ini tidak selesai, terlihat dari bilik setiap toilet yang tidak terpasang.
Tangannya terulur menyalakan keran. Ia berteriak kesal karena air tidak menyala, lantas menepuk-nepuk keran dengan kuat.
Tangannya beralih membuka ritsleting tas di bahu, mengeluarkan botol air dan tisu. Ia membuka masker, isakannya mulai terdengar.
Cermin di depan memantulkan wajahnya yang memar. Sudut bibir dan hidungnya mengeluarkan darah. Ia membasahi tisu dengan air, kemudian mengelapnya cepat. Tubuhnya bergetar, sangat ketakutan.
Tatapan Aalisha sayu, ia terlihat hancur. Tisu yang berlumuran darah tadi digenggamnya, ia berteriak kuat sambil menangis. "Bagaimana ini ...."
Ponselnya berdering, membuat ia seketika terdiam. Ada sesak yang langsung menjalar di seluruh tubuhnya. Ia pun melihat ponsel, Aya menghubungi.
Sha! Kami udah mau selesai, nih.
Suara Vanya terdengar riang, lalu terjadi perebutan ponsel dengan Aya yang mampu didengarnya.
Sha ... Anda jadi ke sini? Vanya mau makan makanan Anda, tuh. He-he. Langsung ke kantin dekat taman, ya.
Suara Aya terdengar lembut dan berhati-hati.
Aalisha memejamkan mata sejenak, ia mengatur napas. "Aku sudah di kontrakan, maaf."
Setelah itu, ia langsung mematikan ponsel dengan tangan yang bergetar. Ia kembali menatap cermin, kepalanya bergerak pelan ke kanan dan ke kiri, memeriksa wajahnya. "Tidak ada jalan keluar," lirihnya.
***
"Alhamdulillah, rejeki bagi hamba Allah yang mau bertobat." Vanya terlihat senang. Tangannya terulur untuk mengambil sepiring ayam penyet di tengah meja. "Punya Aalisha saya yang makan, ya!" serunya, karena piringnya sudah kosong.
Aya menyimpan kembali ponsel, dan melanjutkan makan. Sama seperti ketiga pria lainnya.
"Berarti kamu yang bayar, ya, Van," goda Mike. "Bagus kalau sekalian punya kami. Hitung-hitung perayaan kamu kembali."
Tangan Vanya berhenti di udara, mulutnya menganga. "Ini dibayar?" tanyanya pelan, bersungguh-sungguh. "Saya gak punya apa-apa, selain harga diri," keluhnya.
Mike menatap serius. "Kamu bisa cuci piring? Minta kerjaan aja sama ibu kantinnya."
"Atau enggak ... jadi petugas keamanan," timpal Aya. "Bantu ibunya buat gebukin orang yang gak bayar."
Vanya mengangguk. Ia mencuci tangan, lalu berdiri. Teman-temannya menahan tawa.
Vernon mengembuskan napas berat. "Duduk," suruhnya sambil menatap gadis di depannya itu.
Gio pun berucap, "Nah, mending harga diri kamu digadai dulu aja ke Vernon, Van." Ia cengengesan ketika Aya memelototinya.
"Ide bagus!" seru Vanya, membuat Aya menepuk kening. Ia pun duduk kembali. "Demi bertahan hidup! Saya rela Anda nikahi, Non, yang penting saya dikasih makan aja, mah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hazards of Love
Mystery / Thriller[Sebelum baca, follow Setiga dulu sabi kali, ya.😎] Sequel dari Indicator of Love. Mereka salah!!! Masing-masing mereka, justru tak hanya membawa "cinta", tetapi juga "bahaya" untuk orang yang dicintai. Karena mencintai, berarti ... turut menyeret o...