Mohon maaf, tadi babnya sempat ketuker. Sekarang dah bener yaa!
###
Bab 2
Malam harinya, Aurora masih terpikirkan dengan suara di semak-semak siang tadi. Entah kenapa saat itu Aurora merasa seperti ada dua mata yang tengah mengawasi. Apa para pelayan? Itu tidak mungkin. Kenapa juga harus bersembunyi.
"Ada apa?" suara sang suami membuyarkan lamunannya. "Ibu menuntutmu lagi?"
"Ah, tidak." Aurora tersenyum lalu membantu sang suami memakai jubah tebal. "Aku hanya tengah merindukan orang tuaku."
Antonio meraih dagu Aurora lalu mengecup bibir ranum itu. "Kalau rindu, datanglah."
Aurora terdiam usai kecupan singkat itu. Ia termenung memandangi punggung sang suami sang melenggak ke arah ranjang. Kecupan itu terasa hambar. Tiada yang spesisl menurut Aurora.
Apakah tidak ada cinta?
"Kemarilah ..." pinta Antonio pelan saat sudah naik di atas ranjang.
Aurora tidak pernah membantah saat sang suami meminta apa pun. Ia akan patuh karena itulah tugas istri.
Aurora ikut naik ke atas ranjang. Dia duduk di hadapan Antonio dengan raut penuh tanya.
"Ibu mengingkan aku segera memiliki keturunan," kata Antonio.
"Lalu?"
Aurora paham, ia hanya ingin tahu seberapa seriusnya Antonio dalam membicarakan hal ini. Maksudnya, mengenai bercinta yang beberapa hari ini hampir tidak pernah dilakukan. Jika ditebak, mungkim sudah ada satu bulan lebih tidak ada kegiatan itu di atas ranjang.
"Mungkin sebaiknya kita lakukan hubungan ranjang lebih sering," ujar Antonio.
Aurora hanya tertegun heran. Dia berpikir masalah tersebut harusnya tidak perlu dibicarakan telalu formal seperti ini.
Oh ayolah! Aku adalah istrinya. Harusnya seperti itu cara mengajakku bercinta?
Aurora tidak habis pikir dengan cara berpikir Antonio yang terlalu pendek. Dia seperti pria yang tidak tahu menahu mengenai ranjang.
Haruskah aku merayu?
Aurora berpikir keras untuk melakukan hal itu, tapi ia teringat kalau cara tersebut tidaklah efektif. Antonio tetap saja acuh mau sekeras apapun Aurora menggoda.
Apa begitu jeleknya tubuhku?
"Aurora," tegur Antonio.
Aurora segera berkedip dan terkesiap lagi. Dia menatap lurus ke arah sang suami. "Ayo lakukan," katanya kemudian.
Semua terjadi begitu saja. Cumbuan, ciuman atau apa pun itu, berlangsung dengan cepat. Seperti yang Aurora selalu katakan, tidak ada yang spesial di sini. Ini terasa seperti masakan tanpa diberi bumbu.
"Mungkin aku harus merayu dan memulai lebih dulu lain kali," batin Aurora di saat Antonio sudah berdiri dan melenggak menuju kamar mandi.
Aurora mulanya terkagum dengan tubuh tegap itu. Otot-ototnya yang menonjol membuktikan kalau dia memang pantas menjadi salah satu putra keturunan bangsawan. Namun, sebagus apapun, rasanya sulit untuk digapai dan dimiliki sepenuhnya.
Aurora kembali memakai pakaiannya. Perlahan ia turun dari atas ranjang, lalu mendekati meja rias di ujung sana. Aurora berdiri memandangi seluruh tubuhnya dari pantulan cermin. Di saat kancing bajunya masih terbuka keseluruhan, Aurora menatap detail setiap lekuk barang pribadinya.
Semua sempurna. Tidak ada cacat luka di sini. Bentuknya sangat indah. Lalu, kenapa Antonio seperti tidak tertarik?
Aurora kemudian menghela napas dan segera mengancing seluruh bajunya hingga tertutup kembali. Ia ikat tali bajunya yang panjang mengelilingi pinggang rampingnya lalu beralih merapikan rambut panjangnya. Ia gulung seperti biasanya hingga leher jenjangnya nampak jelas.
"Kamu mandilah," perintah Antonio setelah ke luar dari kamar mandi. "Aku tunggu di bawah. Hampir waktunya makan malam."
Aurora mengangguk saja.
Antonio menuruni tangga dengan langkah cepat. Dia merasa tenggorokannya begitu kering setelah bercinta dengan sang istri.
"Hei, Antonio," panggil seseorang dari arah samping.
Antonio menoleh. "Jasmine."
Jasmin mendekat lalu sedikit menggesek bagian dada pada lengan Antonio. "Kamu wangi. Apa baru mandi?"
Antonio mengangguk. "Ya, aku memang baru mandi.
"Kamu melakukannya dengan istrimu?" Jasmine bertanya sambil sedikit mundur dan tangannya meraih ujung kerah baju Antonio.
"Apa maksud kamu?" tanya Antonio.
"Kamu tidak mengerti atau hanya pura-pura?" pertanyaan Jasmine terasa membingungkan untuk Antonio.
"Aku haus, kalau tidak ada yang penting sebaiknya minggir." Antonio dengan cepat menggeser posisi Jasmine hingga ke samping kanan. Lalu dengan cepat Antonio berjalan menuju dapur.
Jasmine berdecak kesal saat itu juga. Para pelayan yang sempat melihat seketika membuang muka saat mendapat pelolototan mata dari Jasmine. Judy yang menyusul, segera menenangkan Nona mudanya itu lalu mengajaknya ke ruang makan. Sebentar lagi malam tiba.
***
Selesai mandi dan memakai daster tidurnya, Aurora tidak langsung pergi ke lantai bawah. Dia berjalan menuju balkon untuk menikmati udara malam yang terasa sejuk. Angin sepoi-sepoi, menyapu wajah, membuat Aurora sekejap memejamkan kedua mata.
Aurora lebih maju lagi hingga sampai pada tepi balkon. Di sana, ia hirup udara dalam-dalam lalu ia embuskan dengan perlahan. Setidaknya dengan cara ini bisa sedikit mengurangi rasa kesepiannya di sini.
Aurora mecengkeram seluruh rambut panjangnya, kemudia ia sandarkan pada bahu kiri. Ia biarkan rambut panjang itu terurai mengumpul di sana sambil perlahan ia sisir dengan jari lentinknya.
"Tempat ini sangat indah. Aku suka karena pepohonan masih begitu rindang. Tapi ...." Aurora menunduk dan kemudian kembali mendongak seraya menghela napas. " ... di sini tidak membuatku bahagia. Aku kesepian. Mereka menuntutku untuk menjadi wanita anggun seperti seorang putri pada umumnya."
Aurora meletakkan kedua tangan pada pondasi tepian balkon. Kini rambut panjangnya semakin terurai dan aebagian helaiannya melambai terkena angin.
Mata hari di ufuk barat sudah tak terlihat. Kini beralih gelap yang diterangi lampu jalanan. Perlahan-lahan, bintang juga mulai bermunculan dari balik awan yang terlihat seperti bergeser pindah tempat.
"Aku enggan ikut makan malam," desah Aurora. "Mereka pasti akan memojokkanku karena tak kunjung memiliki keturunan."
Di saat Aurora hendak berbalik, matanya menjumpai sosok asing di bawah sana. Mata jeli Aurora membulat dan mulai mengamati pria berlentera di bawah sana. Aurora yakin , pria itu tengah menatapnya juga.
"Siapa dia?" gumam Aurora.
Dari atas sini tentu tidak akan jelas untuk melihat ke bawah sana. Apa lagi suasana sudah gelap dan hanya ada penerangan lampu yang tentunya tidak terang seperti siang hari.
Untuk sekian detik, pria di bawah sana masih memandang ke arah Aurora. Hal ini, tentu membuat Aurora mulai merinding dan bertanya-tanya. Tidak lama setelah Aurora memeluk tubuhnya sendiri yang takut dan mulai kedinginan, sosok itu perlahan menghilang masuk ke area hutan.
"Apa dia hantu?" Aurora sudah membelalak sempurna.
Tidak tahan dengan rasa takut, Aurora lantas berlari masuk dan dengan cepat menutup semua jendela kamar. Ia berjalan mundur kemudian terjatuh di atas ranjang dan seketika duduk memeluk kedua lututnya dengan erat.
Ketika rasa takut itu masih terasa, Antonio datang untuk mengajak makan malam.
"Haruskah aku cerita tentang baru saja?" batin Aurora. "Ah, sebaiknya tidak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Man (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Setelah ditinggal kedua orang tuanya, kini Aurora tinggal di rumah mewah milik Tuan Arkan. Dia menjadi menantu di sana, menikah dengan putra kedua dari pasangan Tuan Arkan dan Nyonya Jessy yang bernama Antonio. Pernikahan itu tampak baik-b...