Bab 7
Rasa haus mendorong Aurora untuk pergi ke lantai dasar. Harusnya tidak perlu karena ia tinggal memanggil pelayan melalui telpon yang ada di kamar, tapi tidak ia lakukan. Aurora bukan tipe wanita manja yang apa-apa harus dilayani.
Aurora memakai jubahnya supaya piama seksi yang ia kenakan tidak terlihat. Sejujurnya ia sangat kecewa karena sifat acuh Antonio. Setiap kali berpenampilan cantik, tak sedikit pun sang suami melirik.
Baru saja menutup pintu kamar, Aurora langsung dihampiri oleh Jasmine. Wanita itu melenggak dengan tatapan benci.
"Diacuhkan lagi?" selorohnya seraya menyeringai.
"Apa maksud kamu?" tanya Aurora.
Jasmine masih tersenyum penuh cemoohan. "Jangan pura-pura tidak tahu. Aku tahu kamu selalu diacuhkan oleh Antonio." Jasmine menunjuk dada Aurora. "Harusnya kamu sadar diri."
Aurora menepis tangan itu. "Mau acuh atau tidak, itu bukan urusan kamu."
Aurora mengibaskan rambut lantas melenggak meninggalkan Jasmine. Bukan Jasmine namanya kalau hanya diam. Dia kemudian menyusul Aurora yang sudah menuruni anak tangga.
"Tentu saja menjadi urusanku!" Jasmine meraih pundak Aurora hingga langkah terhenti. "Kamu harus sadar diri. Kamu tidak bisa hamil. Harusnya kamu berpisah saja dengan Antonio."
"Bisa tidak, sehari saja kamu tidak menggangguku? Dan lagi, kamu juga harus sadar diri, Antonio juga mengacuhkan kamu."
"Kamu!" Jasmine melotot tapi tidak bisa berkata apa-apa.
"Lain kali bercermin!" Aurora menggeleng lalu kembali berjalan sementara Jasmine hanya mengeraskan rahang dan mengepalkan kedua tangan.
"Sabar, Aurora. Wanita itu sama menyedihkannya seperti kamu." Aurora membatin sambil mengusap dada.
Sampai di dapur, Aurora bertemu dengan Beatrice. Wanita itu segera menghampiri Nona majikannya itu untuk menanyakan apa yang sedang dibutuhkan saat ini.
"Ambilkan aku air putih saja," pinta Aurora.
Beatrice mengangguk.
Aurora melenggak menuju taman belakang. Ia tidak peduli udara dingin yang berembus karena ia terlalu bosan di dalam rumah. Ia juga masih penasaran dengan pria berotot yang ia jumpai di dalam hutam. Jika dipikir-pikir, waktu itu Aurora sudah berjalan masuk ke hutan hingga satu kilo lebih. Untungnya tidak sampai tersesat.
"Ini, Nona." Beatrice mengulurkan air putih hangat pada Aurora.
Aurora segera duduk di kursi kayu setelah menerima segelas air putih tersebut. "Duduklah," katanya kemudian.
Beatrice duduk. "Ada apa, Nona?"
"Sudah berapa lama kamu bekerja di rumah ini?" tanya Aurora.
"Sekitar dua tahun, Nona."
Aurora terdiam tidak menanggapi jawaban itu. Sambil menyeruput minumannya, pandangan Aurora tertuju pada ayunan yang biasa ia duduki kalau merasa bosan.
Aurora kemudian menghela napas lantas meletakkan gelasnya di atas meja dengan ukiran pada setiap tepiannya.
"Apa kamu pernah bercengkerama dengan para pelayan yang sudah sangat lama belerja di sini?" tanya Aurora lagi.
"Tentu saja."
"Apa yang kalian bicarakan?"
Beatrice menunduk seraya menepuk pelan kedua pahanya. "Tidak banyak. Kami hanya ngobrol singkat karena memang hanya ada waktu di malam hari. Nyonya tidak membiarkan kami menganggur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Man (TAMAT)
Lãng mạnRate: 21+ Setelah ditinggal kedua orang tuanya, kini Aurora tinggal di rumah mewah milik Tuan Arkan. Dia menjadi menantu di sana, menikah dengan putra kedua dari pasangan Tuan Arkan dan Nyonya Jessy yang bernama Antonio. Pernikahan itu tampak baik-b...