Chapter 8

1.3K 73 1
                                    

Bab 8

Di saat tengah menyiapkan pakaian untuk sang suami, Aurora mencoba membuka percakapan. Dia berbicara tanpa memandang sang suami.

"Perlengkapanku habis, apa aku boleh pergi ke luar?" tanya Aurora pelan.

Antonio yang tengah mengancing kemeja, lantas mengangkat wajah. "Minta saja pada pelayan untuk membelikan."

Aurora menghela napas pendek dan memejamkan mata sesaat sebelum berbalik badan. Ia tengah mengatur hati supaya bisa membuat Antonio luluh.

"Kenapa tidak kamu saja yang menemaniku?" tanya Aurora.

Antonio tersenyum tipis. Dia merah jas yang menyampir di lengan Aurora lalu memakainya. "Kamu tahu aku selalu sibuk, bukan?" katanya.

Aurora mengangguk dengan wajah sendu. "Kalau begitu ijinkan sekali saja aku ke luar. Aku ingin berbelanja. Toh, para pelayan dan supir juga mengantarku kan?"

Antonio berdecak, tapi kemudian mendesah pasrah. "Baiklah. Hanya berbelanja dan setelah itu langsung kembali ke rumah."

"Oke." Aurora angkat tangan, menautkan ibu jari dengan hari telunjuk dan membiarkan tiga jari lainnya tetap berdiri. "Terimakasih."

Seketika Antonio tertegun dengan bola mata membulat sempurna. Aurora tiba-tiba memeluk dengan erat, membuat Antonio terkejut. Entah kenapa pelukan ini seperti sentuhan yang dialiri listrik. Dan sebelum otak Antonio mulai terpengaruh, dengan cepat Antonio mendorong Aurora hingga pelukan terlepas.

"Aku sudah kesiangan. Sebaiknya aku berangkat." Tidak menatap Aurora lagi, Antonio menjambret tas kerjanya kemudian beranjak pergi.

Selalu saja seperti ini. Sekeras apa pun Aurora merayu, Antonio tak kunjung luluh. Dia seperti memang berniat untuk menghindar sejak awal. Lalu, kenapa dia masih mempertahankan pernikahan ini? Untuk apa mempertahankan pernimahan tanpa cinta?

Aurora menarik napas dalam-dalam lalu mengusap dadanya supaya perasaannya lebih tenang. Sementara ia tepiskan dulu mengenai Antonio karena hari ini akan pergi jalan-jalan. Mungkin dengan cara ke luar rumah sebentar bisa mengurangi rasa suntuk.

"Mau pergi ke mana kamu?" tanya Jasmine sesampainya Aurora di lantai satu.

"Bukan urusan kamu," tepis Aurora.

"Kamu tidak diizinkan ke luar rumah." Jasmine merentangkan kedua tangan menghalangi langkah Aurora. "Aku bisa saja menelpon Antonio."

"Silakan saja," Aurora tidak peduli lalu menyingkirkan lengan Jasmine. "Minggir dan jangan menghalangiku."

Jasmine masih belum menyerah juga. Wanita itu mengejar langkah Aurora sampai ke halaman rumah. Namun, ketika belum sempat menggapai lengan Aurora, Aurora sudah lebih dulu masuk ke dalam mobil

"Aku adukan kamu sama Antonio!" seru Jasmine sambil menunjuk-nunjuk.

Aurora tidak peduli. Kaca mobil yang semula terbuka perlahan menaik hingga benar-benar tertutup. Tidak lama setelah itu, muncul dua palayan yang akan menemani Aurora. Mereka berdua masuk ke dalam mobil setelah sempat menyerempet Jasmine.

"Sialan!" umpat Aurora seraya menghentak kaki. "Dia mulai berani padaku!"

Perjalanan ke kota membutuhkan waktu sekitar satu jam dari hunian Tuan Arkan. Rumah besar nan mewah bak istana itu memang terletak jauh dari keramaian. Mungkin karena suasananya terasa nyaman dam lebih sunyi.

Setengah perjalanan, Aurora masih saja memandangi pepohonan yang berjer di pinggiri jalan. Sudah sangat lama Aurora tidak meninggalkan rumah untuk sekedar menghirup udara segar. Entah alasan apa Antonio tidak pernah mengijinkan sang istri kelayan di luar sana.

Ketika sampai di pusat keramaian, bibir Aurora langsung menyungging senyum. Dua pelayan yang duduk di sampingnya juga ikut tersenyum. Sementara si sopir, dia hanya memandangi melalui kaca spion yang menggantung di atas dasbord.

"Halo," tiba-tiba Si sopir menerima panggilan dari seseorang.

"Iya, Tuan. Semua aman."

Aurora menaikkan satu ujung bibir dan langsung melengos. Ia bisa tebak kalau itu pasti panggilan dari Antonio. Rasanya tidak adil. Selama hidup bersama keluarga sang suami, tak pernah Antonio memfasilitasi ponsel. Yang ada hanyalah telpon rumah. Jaman mulai canggih, tapi sepertiya Antonio enggan memberi hal itu pada Aurora.

"Nona mau diantar ke mana dulu?" tanya si sopir sebelum menepikan mobilnya.

Aurora mengetuk-ngetuk dagu seraya berpikir. Tidak lama, setelah itu Aurora membelalakkan mata dan tersenyum binar.

"Aku ingin ke temat kuliner yang dekat toko antik milik pak tua. Sudah lama aku tidak ke sana."

Si sopir menepikan mobil, mematikan mesin lalu menoleh ke belakang menatap bergantian pada dua pelayan yang duduk di samping Aurora.

"Di mana tempat itu? Kalian tahu?" tanya si sopir.

Pelayan satu menggeleng, lalu Beatrice yang menjawab. "Saya tahu. Biar saya antar ke sana."

"Harus sama saya," ucap si sopir dengan cepat.

"Maaf, Rey. Mobil tidak akan bisa masuk. Kamu bisa menunggu di sini," ujar Beatrice.

Diam-diam Aurora tersenyum karena pelayannya itu megerti maksud hatinya saat ini.

"Bawa ini." Rey mengulurkan benda bersegi panjang dengan atena kecil. Mungkin sebuah telepon atau apa pun itu Aurora sungguh tidak pedulu. "Panggil jika butuh bantuan."

Seketika Aurora mendecih lalu lebih dulu turun dari mobil. "Kalian semua terlalu berlebihan," decak Aurora.

Pada akhirnya Rey menunggu di mobil sementara Aurora dan dua pelayannya sudah memasuki wilayah yang hendak dituju. Sebuah tempat yang biasanya didatangi para turis jika bertamasya. Kenapa Aurora suka, tentu karena di sini sangat ramai dan semua pejalan kaki. Dan juga, ada hal lain yang begitu Aurora rindukan.

"Aku masuk dulu," kata Aurora. "Kalian tunggu di sini."

"Tapi, Nona." Pelayan yang satu terlihat khawatir, tapi saat Beatrice berkedip palayan itu nurut saja.

Aurora masuk ke toko antik yang sudah sangat lama tidak ia kunjungi. Sebuah toko yang menjual barang lama dan juga ukiran yang terbuat dari kayu.

"Kakek!" seru Aurora begitu melihat sosok pria tua berambut putih. "Aku rindu kakek."

Pria bernama Bill itu menoleh. Wajah keriput itu seketika berbinar cerah saat mengenail wajah Aurora. Namun, di saat Aurora hendak melangkah maju untuk memberi pelukan, satu kakinya tersandung kaki meja. Saat itu juga Aurora jatuh tersungkur hingga membuat lututnya mengenai lantai.

Bill kini sudah membawa Aurora Aurora ke dalam ruangannya. Pris tua itu meminta seseorang untuk mengambilkan kompres supaya lutut Aurora tidak lebam.

"Kenapa kamu tidak hati-hati?" tanya Bill yang duduk di samping Aurora. "Tunggu sebentar, pelayan kakek akan bawakan kompres untukmu."

Aurora mengangguk. "Aku terlalu senang bertemu kakek," katanya. "Lama sekali aku tidak berkunjung."

"Suamimu tidak mengijinkan kamu ke luar?" tanya Bill.

Aurora menggangguk sendu.

Obrolan masih berlanjut, terdengar suara pintu terbuka. Aurora seketika mengangkat wajah hingga bisa melihat dengan jelas siapa yang datang.

"Kamu?" celetuk Aurora dengan wajah terkejut.

Pria itu bersikap biasa saja tak peduli dengan keterkejutan Aurora. Dia langsung jongkok di hadapan Aurora dan mulai mengompres lutut yang membiru itu.

"Kalian sudah saling kenal?" tanya Bill.

"Tidak," jawab pria dengan cepat.

Pria kemudian berdiri setelah menempelkan kain dingin pada lutut Aurora. Dia beranjak ke luar tanpa bicara apa-apa lagi.

***

Perfect Man (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang