Bab 10
Tidak banyak yang Aurora beli. Dia hanya membeli dua lembar baju dress dan beberapa japit rambut dan juga bando. Entah kenapa, mendadak ia ingin sekali berdandan seperti saat dirinya masih berumur belasan tahun. Tidak seperti saat di rumah mewah ini yang serba elegan diatur oleh para leluhurnya. Ya, kira-kira tidak jauh berbeda seperti para bangsawan saat mengenakan pakaiannya. Tenang, sedikit membusungkan dada dengan dagu terangkat seperti memamerkan wajah cantiknya. Ini jaman moderen, apa pun sudah canggih, meski mengikuti para leluhur, mungkin juga bisa mengikuti arus masa depan. Tapi yang namanya hidup dalam lingkup keturunan bangsawan menang harus mematuhi aturan yang ada.
"Astaga! Aku ngelantur terkalu panjang sampai teebengong di sini." Aurora berdecak lalu bergidik.
Aurora menjauh dari cermin lantas menggantung pakaian yang baru ia beli ke dalam lemari. Ia kemudian beranjak mandi karena hari sudah mulai petang.
Sementara di lantai bawah, kedua mertua Aurora baru pulang. Wajah keduanya tampak tidak biasa, mereka seperti tengah ada perdebatan kecil. Para pelayan yang menyambut, bahkan hanya berani menganggukkan kepala tanpa menegur.
"Kita bicarakan saja di dalam," tekan Arkan. "Sepanjang perjalanan kamu terus mengoceh masalah ini. Aku pusing!"
Brak!
Arkan membanting pintu kamar, hingga membuat Jessy yang membuntuti di belakang tersentak kaget. Jessy yang tidak terima, lantas segera ikut masuk.
"Kamu marah?" cerca Jessy. "Aku hanya ingin yang terbaik untuk keluarga ini."
Arka meletakkan jasnya di sandaran kursi lalu menatap ke arah sang istri. "Dengar, hal yang menurutmu baik, bukan berarti baik untuk kita semua."
Jessy sudah mulai kesal dengan pembicaraan ini yang kerap kali membuat sang suami tidak peduli. Bagi Jessy, warisan keluarga sangat penting dan menjadi kebanggaan tersendiri. Apa lagi, untuk mendapatkan warisan dari keluarga sang suami tidaklah mudah.
"Mungkin bagimu tidak penting." Jessy maju dan bicara lebih dekat. "Tapi bagi putramu sangat penting."
"Putra yang mana?" Arkan melebarkan kedua tangan lantas melenggak dengan nada menyalak. "Kamu sendiri hanya mementingkan Putramu sendiri tidak dengan putraku."
"Hei!" Jessy kembali mendekati sang suami dan kali ini sambil mengacungkan jari telunjuk. "Putramu tidak berhak dalam hal ini karena sudah mencoreng nama keluarga."
"Itu tidak benar!" bantah Arkan.
"Tapi semua bukti yang ada mengarah padanya. Dia sudah membuat malu keluarga ini dengan melecehkan pelayan rumah dan mabuk-mabukan."
"Stop!" seru Arkan. "Berhenti membahas hal itu. Lakukan saja apa maumu. Kalau kamu memang berniat menikahkan Antonio lagi maka, silakan."
Saat itu juga ujung bibir Jessy tampak terangkat mengukir senyum kepuasan. Dia kemudian maju dan memberi satu kecupan pada sang suami. "Bukankah seperti ini mudah?"
Arkan melengos tak terlalu memedulikan. Ia melepas sepatu kemudian masuk ke dalam kamar mandi usai mengambil handuk. Ketika pintu kamar mandi tertutup, desahan berat pun ke luar dari bibir Arkan. Sepertinada sesuatu yang harusnya ia katakan, tapi tidak diberi ijin.
"Aku tidak tahu kenapa bisa serumit ini," gumam Arkan seraya merasakan guyuran air dari dalam keran. "Ini kebetulan atau keajaiban hingga sampai detik ini pernikahan Antonio dan Aurora tak kunjung memiliki keturunan."
Jika sang istri merasa khawatir, sejujurnya Arkan malah merasa lega. Sedari dulu, Arkan tahu bagaimana Antonio memang tidak tertarik pada Aurora. Masa lalu yang terjadi cukup rumit.
Selama sang suami berada di kamar mandi, Jessy meninggalkan kamar untuk menemui sang putra. Dan kebetulan sekali mereka bertemu saat Antonio baru saja masuk dari ruang tamu.
"Kamu baru pulang?" tanya Jessy.
"Ya, kenapa?" Antonio balik bertanya.
"Ikut ibu sebentar." Jessy merebut tas dan jas yang menysmpir di lengan sang putra. Ia letakkan di atas sofa, lalu mengajak Antonio menuju ruang permustakaan keluarga di dekat ruang tengah.
"Ada apa?" tanya Antonio. "Aku lelah. Kalau tidak penting sebaiknya bicarakan saat makan malam."
"Tentu saja ini sangat penting," tegas Jessy.
Jessy mengamati ke sekitar, memastikan kalau kondisi sudah aman untuk membicarakan hal penting. Di dalam ruangan ino sudah tidak ada siapa pun kecuali mereka berdua saja.
"Hal penting apa?" tanya Antonio.
"Kamu akan menikah lagi."
"A-apa?" Antonio
Jessy menganggukkan kepala dengan kedua alis terangkat. "Ibu ingin kamu segera memilki keturan supaya bisa menjadi ahli waris untuk aset perkebunan yang kita kelola. Dan juga rumah ini."
"Ibu tidak bercanda?" Antonio masij belum percaya. "Ibu harus ingat, dalam lembaran surat yang kakek tulis, tidak mengijinkan aku untuk menikah lagi tanpa seizin Aurora."
"Memang," jawab Jessy enteng. "Kamu tinggal meminta restu pada Aurora kan? Dalam tradisi keluarga kita, seriap pria yang tidak memiliki keturunan berhak menikah lagi bukan?"
"Tapi tidak berlaku untukku dan Aurora, Bu. Sebelum kakek pergi, dia sudah berpesan padaku untuk jangan meninggalkan Aurora."
Jessy kini tersenyum-senyum penuh arti. "Kakekmu hanya berkata untuk tidak meninggalkan Aurora bukan? Dan kamu tidak meninggalkannya, hanya saja sebatas menduakannya."
Antonio tertegun. Ia tidak terpikirkan dengan hal itu. Seluruh aset yang terlalu ia incar membuat otaknya susah sekali untuk berpikiran jernih. Selama ini Antonio hanya terfokus jangan sampai menceraikan Aurora supaya dirinya tetap menjadi ahli waris.
"Dari mana ibu bisa berpikiran seperti itu?" tanya Antonio kemudian. "Sebelumnya ibu tidak bilang seperti ini padaku."
Jessy mendesah lalu berdecak seperti sedikit merasa kesal pada diri sendiri yang juga terlalu lelet dalam menemukan ide.
"Ibu juga baru memikirkan hal ini kemarin," ujar Jessy seraya mendesah lagi.
Keluarga Antonio cukup banyak sebenarnya. Kakeknya memiliki satu putra yaitu Arkan kemudian tiga saudara perempuan yang semua tinggal di luar kota. Dan dari empat bersaudara itu yang memilki anak laki-lagi hanya Arkan. Itulah kenapa Arkan digembar-gemborkan memiliki warisan paling banyak. Selain karena dia anak pertama, dia juga yang berhasil melahirkan dua orang putra.
Banyak hal yang menjadi aturan rumit pada keluarga mereka, tentu karena para pendahulu mereka yang sudah mencetuskan semua hal harus dituruti dan dipatuhi. Jika tidak, celaks mungkin akan menghampiri.
Setelah mendapat kabar gembira dari sang ibu, wajah Antonio langsung bersinar. Ia berlari cepat menuju kamarnya dan ingin segera menghubungi kekasihnya yang berada di luar sana.
"Jadi, Antonio akan menikah lagi?" gumam Jasmine dari balik lemari besar yang penuh dengan buku-buku tebal. "Dengan siapa Antonio akan menikah? Apa bukan denganku?"
Tampak ada rasa kecewa pada wajah Jasmine. Sudah terlalu lama ia menunggu dan sepertinya dirinya tetap tidak akan bisa memiliki Antonio.
"Apa kamu baru saja bicara dengan Antonio?" tanya Arkan.
Dengan senyum sumringah Jessy mengangguk. "Tentu saja. Sebentar lagi Antonio akan menikah lagi dan segera memilki keturunan. Menantu madul seperti Aurora untuk apa dipertahankan."
"Jaga bicara kamu!" hardik Arkan. "Mulutmu lama-lama seperti racun!"
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Man (TAMAT)
RomansaRate: 21+ Setelah ditinggal kedua orang tuanya, kini Aurora tinggal di rumah mewah milik Tuan Arkan. Dia menjadi menantu di sana, menikah dengan putra kedua dari pasangan Tuan Arkan dan Nyonya Jessy yang bernama Antonio. Pernikahan itu tampak baik-b...