Chapter 1

2.3K 84 0
                                    

Novel ini sudah up sampai tamat ya ... jika kalian menemukan ada bab yang hilang, kemungkinan sudah dihapus.
***

Hidup di rumah megah bak istana, tidak menjamin kebahagiaan. Satu tahun Aurora hidup sebagai istri seorang pria tertampan di kota ini, tidak lah membuatnya serta merta merasa nyaman atau diutamakan. Sang suami, Antonio, dia lebih sering menghabiskan waktu dengan berburu atau kumpul bersama rekan-rekannya. Selain itu, dia akan menghabiakan waktu lagi dengan urusan bisnisnya.

Pernikahan ini hanya akan terlihat romantis jika berada di hadapan keluarga saja.

Rasa kesedihan bukan hanya itu saja. Aurora harus kehilangan kedua orang tuanya usai pernikahan waktu itu. Orang tuanya mengalami kecelakaan dan tidak bisa diselamatkan. Selamanya, mungkin Aurora akan menetap di sini dalam kehampaan.

"Tidak bisakah kamu, menemaniku hari ini saja?" tanya Aurora penuh harap.

Antonio tengah memakai baju dan jubahnya di depan cermin. "Aku ada jadwal hari ini. Mungkin akan tiba di rumah kembali malam nanti."

Selalu saja begitu. Tiada alasan lain yang lebih mendetail yang terlontar pada akhirnya. Aurora sesekali ingin merasa sentuhan layaknya pasangan suami istri pada umumnya. Terkadang dia iri pada beberapa pasangan yang datang saat jamuan istana diselenggarakan. Banyak tamu yang datang hingga sesekali Aurora melihat mereka saling berciuman saat berdansa.

Aurora teringat kembali saat malam pertama dirinya menjadi pengantin baru. Tiada yang spesial seperti diucapkan para sahabatnya sebelum berpisah. Mereka bilang akan ada malam indah penuh keringat yang terasa seperti terbang ke atas awan.

Tidak! Selena tidak merasakan itu. Hanya ada malam pertama di mana mahkota sucinya diambil tanpa kehangatan. Semua sebatas sex biasa seperti tiada rasa.

"Kamu tidak menyukaiku?" tanya Aurora dengan nada lirih.

Sudah lama Aurora ingin bertanya mengenai hal ini. Namun, dia selalu urungkan karena tidak mau semuanya kacau. Tapi kali ini sepertinya Aurora tidak tahan lagi.

"Apa itu penting?" Antonio menoleh.

"Tentu saja penting." Aurora menatap lurus seraya menggenggam jemarinya sendiri dengan erat.

Antonio tidak pernah kasar, memang. Namun, sebagai wanita normal, Aurora ingin sekali dimanja. Terkadang Aurora sempat berpikir bahwa ini adalah sebuah kutukan karena pernah menolak lamaran dari beberapa pria.

"Bukankah selama ini kita baik-baik saja?" Antonio mendekat kemudian membelai rambut Aurora yang panjang. "Apa ada masalah? Oh, mungkin kamu rindu orang tuamu?"

"A-apa?" Aurora tergagap. "Tidak, tidak. Bukan begitu. Aku hanya ingin ..."

"Sudahlah ... aku sudah terlambat," potong Antonio. "Pengawalku sudah menunggu di bawah."

Tidak menunggu penjelasan apa pun lagi, Antonio pergi begitu saja usai mengecup kening Aurora. Dalam posisinya berdiri, Aurora hanya termenung dan hampir saja menangis.

Di mana kebebasan? Aurora tidak lagi bebas di sini. Aurora terduduk di bibir ranjang sambil menangkup wajah. Dia teringat kalimat sang ibu yang mengatakan akan hidup bahagia di sini. Tidak! Tidak ada kebahagiaan di sini. Mereka juga tidak tahu kalau Aurora selalu dituntut memilliki anak oleh ibu mertuanya.

"Aaaargh!" Aurora menggeram keras hingga kedua tangannya mengepal kuat.

Air mata sudah tidak terbendung lagi dan pada akhirnya banjir pun terjadi. Tangis itu membludag bersamaan rasa sakit di dalam hati.

Tok, tok, tok.

Aurora bergegas mengangkat wajah lalu mengusap cepat wajahnya hingga air mata tak bersisa. Ia menarik sisa ingus yang ke luar, kemudian berdiri. Sekali lagi Aurora mengelap wajahnya sebelum beranjak membuka pintu.

"Siapa?" tanya Aurora sebelum pintu terbuka.

"Saya, Nona. Beatrice."

Pintu terbuka dan sosok pelayan yang paling dekat dengan Aurora terlihat. Ia berdiri membawa setumpuk pakaian sambil menyungging senyum.

"Apa saya menggangu?" tanya Beatrice.

Aurora menggeleng. "Tidak. Masuklah ...."

Beatrice sudah masuk dan menuju lemari pakaian seperto biasanya. "Apa ada masalah?" tanyanya.

"Ah, tidak." Aurora menggeleng.

Beatrice menata semua pakaian di dalam lemari. Begitu semuanya beres, dia pamit ke luar untuk membantu yang lain menyiapkan makanan dan juga urusan lain.

Aurora memang seperti ratu di sini. Para pelayan bersliweran ke sana ke mari untuk melayani dirinya dalam keperluan apa pun. Dan tanpa diminta, pihak keluarga Antonio sudah menyiapkan tiga pelayan yang memang khusus untuk menemani Aurora jika ingin bepergian atau butuh sesuatu.

Mengenai pergi ke luar rumah, ini bukan berarti Aurora bisa bebas. Melainkan seperti orang yang selalu diikuti ke mana pun akan pergi. Rasanya sungguh risih dan tidak nyaman. Belum lagi terkadang tatapam sinis dari ibu mertua membuatnya risi.

Selesai merapikan rambut panjangnya yang ia gulung ke atas, Aurora menyusul Beatrice ke lantai dasar. Sampai di bawah, ia menjumpai beberapa pelayan yang sibuk membawa buah apel yang baru dipanen pagi tadi. Tidak hanya itu, ada juga buah yang lain yang akan di olah menjadi selain di pabrik belakang.

Aurora terus berjalan mengikuti para pelayan menuju ruang belakang. Di jam-jam ini Aurora akan sedikit merasa bebas karena kedua mertuanya sedang berada di luar mengurus bisnis keluarga. Setidaknya bebas di dalam sangkar. Oh, sungguh konyol!

"Nona mau?" tawar salah satu wanita dengan tudung di atas kepala. Dia salah saru dari para pekerja kebun apel dan anggur.

"Boleh." Aurora meraih keranjang berukuran sedang berisi anggur tersebut. "Aku bawa ke kebun belakang saja," katanya kemudian.

Pekerja kebun itu mengangguk. Cara para pelayan atau pekerja kebun yang begitu ramah, membuat seseorang yang diam-diam memantau merasa iri.

"Sedang apa, Nona?" tanya Judy selaku pelayan pribadi.

Jasmine menoleh. "Aku sungguh tidak menyukai wanita itu."

"Aku pun begitu, Nona," sahut Judy sebagai dukungan. "Dia seperti merampas keluarga ini."

"Tidak juga." Jasmin mengangkat jari telunjuk lalu melenggak menjauh dari balkon. "Bibi Jessy masih belum sepenuhnya menyukai dia karena tak kunjung hamil."

"Benar juga, Nona." Judy ikut masuk. "Lalu apa rencana nona?"

Jasmine tidak menjawab apa pun selain duduk diam di atas ranjangnya dengan kaki menyilang. Tatapan matanya lurus, ke arah luar di mana pepohonan rindang bergoyang-goyang tertiup angin.

Di bawah sana, Aurora sudah sampai di hutan dekat rumah mewahnya. Dia meletakkan keranjang buah di samping tiang ayunan, sementara ia duduk di papan ayunannya.

"Hidupku seperti tidak ada gunanya," celetuk Aurora seraya mengayunkan kaki di atas ayunan.

Krasak!

"Apa itu?"

Seketika kaki Aurora menapak di atas tanah--mengerem--hingga ayunan terhenti. Aurora kemudian melompat turun dan berbalik badan. Dia menatap ke arah semak-semak yang mengarah ke hutan dekat perkebunan.

"Siapa di sana?" seru Aurora dengan waspada.

Aurora terus mengamati, tapi tidak melihat siapa pun di sana. Ia hanya melihat ilalang liar melambai-lampai karena tiupan angin dari balik gerbang besi.

"Mungkin kelinci hutan," celetuknya untuk mengusir rasa takut.

Aurora lantas kembali berbalik badan. Ia membungkuk mengambil keranjang buahnya lalu pergi dari tempat tersebut.

"Mungkin saja pekerja kebun yang lewat." Aurora masih menebak-nebak dengan langkah kaki cepat.

Aurora tidak akan tahu siapa di balik semak belukar itu. Ada sosok asing yang diam-diam memandangi dengan seutas senyum aneh. Dia mungkin terpesona lalu sambil menggaruk-garuk tengkuk, ia melenggak pergi.

***

Perfect Man (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang