Chapter 4

1.6K 82 0
                                    

Benalu. Apa itu benalu? Benarkah begitu keadaannya?

Aurora sudah terduduk di bawah pohon rindang yang dekat dengan jalan menuju hutan dan perkebunan. Ia menangis tersedu-sedu hingga tubuhnya terguncang. Isak tangis yang terdengar, rasanya membuat dada mulai terasa sakit.

Rumah yang ia tinggali saat ini tidak jauh berbeda dengan sebuah istana. Bangunannya megah, dan fasilitas apa pun tersedia di dalamnya. Mobil, telepon, televisi, semua hal moderen ada di dalamnya. Namun, hal itu tetap membuat rasa sepi melanda.

Aurora merasa terkurung di rumah ini. Letak rumah yang cukup jauh dari kota, membuatnya susah ke mana-mana tanpa diikuti para dayang. Rasa rindu pada teman, bahkan tak bisa Aurora penuhi meski ada telpon di sini, nyatanya tak bisa Aurora manfaatkan.

Dan sekarang ... rasa kesepian yang ia rasakan, perlahan menjadi sakit dan bentuk kecewa.

Tiada istilah Rumah adalah surgaku.

Andai saja kedua orang tuanya masih hidup, mungkin saja Aurora akan bercerai saja. Ia tidak peduli jika kehidupannya kembali ke desa kecil asalkan jauh dari suasana di rumah ini. Namun, jika sekarang bercerai, di mana Aurora akan tinggal? Seluruh aset milik ke keluarganya sudah terjual oleh keluarga ini.

Krasak!

Suara itu terdengar lagi. Aurora spontan mengangkat wajah dan terkesiap. Dia mengusap wajahnya dengan cepat lalu berdiri.

"Siapa di sana?" tanya Aurora dengan tatapan jeli.

Tiada sahutan dari sana. Pepohonan yang rindang, hanya terdengar beberapa suara kicau burung dan suara serangga-serangga. Kali ini Aurora merasa penasaran. Dia tepiskan rasa takut demi memastikan asal suara yang ia dengar dua kali. Suara itu seperti pijakan kaki seseorang yang menginjak ranting kering atau dedaunan kering.

"Siapa di sana?" Sekali lagi Aurora bertanya. Dua kaki jenjangnya kini mulai melangkah maju menuju jalan setapak kecil.

Terus berjalan, Aurora tidak mendapati apa pun di sini selain sederetan pohon yang berjejeran sepanjang jalan. Ketika berada di pertigaan jalan sempit, Aurora memilih jalan sebelah kiri. Sebelumnya ia pernah ke sini bersama Antonio saat ingin memantau keadaan kebun anggur.

Sebelum melanjutkan perjalanan, Aurora menoleh lebih dulu ke arah belakang. Ini sudah cukup jauh dari istana, tapi tidak apa. Toh ini masih di area rumah bak istana itu. Bahkan Jika Aurora sampai di ujung hutan, tetap saja masih bisa dikatakan berada di area rumah. Ya, pondasi besar mengelilingi hutan yang sangat luas.

"Aku bosan juga di dalam rumah. Tidak salah kan, aku pergi ke kebun? Mungkin di sana aku akan dapat teman ngobrol."

Aurora terus berjalan menyusuri jalan setapak yang penuh dengan dedaunan yang berserakan. Udara di sini sangat sejuk dan nyaman. Di saat Aurora menghirup udaranya, bahkan bisa merasakan ketenangan dalam hati.

Sampai di ujung jalan, Aurora mendapati hamparan luas perkebunan anggur. Dan di sebelahnya lagi ada perkebunan apel yang tengah di panen. Banyak para pekerja kebun di sini. Ada beberapa pekerja pria dan juga pekerja wanita.

"Apa itu Nona Aurora?" bisik seseorang yang tengah memasukkan anggur ke dalam keranjang.

"Aku rasa iya," jawab temannya.

"Sedang apa dia sini?"

"Entahlah."

Suara saling berbisik itu tentu tidak terdengar sampai ke telinga Aurora.
"Siapa wanita itu?" Teman yang lain datang dan bertanya. "Aku belum pernah melihatnya sebelumnya."

"Dia Nona Aurora, istri Tuan Antonio."

"Oh, ya? Dia sangat cantik. Sedang apa dia di sini?"

"Aku tidak tahu. Tidak biasanya keluarga itu membiarkan menantunya kelayapan sampai sini tanpa didampingi pelayan."

Aurora merasakan ada bisikan aneh dan beberapa tatapan aneh. Aurora tidak peduli itu. Mungkin mereka hanya heran karena memang selama ini dia tidak pernah datang kecuali satu kali saat bersama Antonio.

Aurora kini kembali berjalan. Wajahnya mendadak semringah karena memang sangat nyaman di sini.

"Apa sebaiknya kita lapor ke pada Nyonya Jessy?"

"Tidak usah. Kita pura-pura saja tidak tahu."

"Tapi ... bagaimana jika dia bertemu dengannya?"

"Dia tidak akan peduli."

"Bukan itu maksudku. Bukankah area ini terlarang untuk Nona Aurora pijak?"

"Astaga!" Mereka sama-sama terkejut.

Namun, di saat mereka menolehkan pandangan, sosok Aurora sudah tidak terlihat. Aurora sudah pergi dan tidak ada yang tahu ke mana arahnya. Dari pada terkena masalah, pada akhirnya Para pekerja itu kembali fokus pada pekerjaannya. Mereka hanya tidak mau terkena masalah jika ikut campur urusan sang majikan. Di sini mereka hanya bekerja dan bekerja. Sebaiknya pura-pura saja tidak tahu.

Ketika kaki terus melangkah, Aurora tidak menyadari kalau sudah sampai di ujung perkebunan. Kini, Aurora mendekati jalan setapak lain menjauh dari perkebunan.

"Menuju ke mana jalan ini?" gumam Aurora. Dia mengetuk-ngetuk dagunya dan menoleh ke sekitar.

Rasa penasaran pada akhirnya mendorong Aurora untuk kembali melangkah. Aurora sempat menatap ke arah perkebunan sebelum akhirnya berbalik badan menapaki jalan tersebut. Sebuah jalan kecil yang belum pernah ia pijak sebelumnya.

Hawa dingin dan sunyi kini mulai terasa. Saat menoleh ke samping lalu ke belakang, Aurora baru menyadari kalau langkah kakinya sudah terlalu jauh. Mendadak, tubuhnya merinding dan ada rasa takut.

"Apa itu pondok?" celetuk Aurora tiba-tiba. Ia melihat seperti ada bangunan rumah kayu di balik pepohonan.

Terus didorong rasa penasaran, Aurora meyakinkan diri untuk berjalan hingga rumah kayu itu terlihat jelas. Aurora kini berdiri dengan mulut sedikit terbuka. Ia merasakan suasana di sini seperti suasana di rumahnya dulu. Hamparan halamannya yang luas, rerumputan di sekitarnya, danau kecil tak jauh dari bangunan rumah, sungguh seperti di pedesaan yang dulu ia tinggali.

"Bagaimana bisa ada rumah di sini?" kata Aurora heran. "Siapa penghuninya?" Aurora mulai celingukan mengamati ke sekitar.

"Apa para pekerja kebun?" tebak Aurora. "Oh, tapi tidak mungkin. Mereka terlalu banyak untuk tinggal di rumah kayu ini."

Klik!

Astaga!

Aurora terjungkat kaget saat mendengar ada suara ranting patah karena terinjak. Aurora pun berbalik badan hingga kini dirinya mendapati seorang pria berdiri tidak jauh di hadapannya.

Aurora tertegun bingung. Ia masih diam mengamati pria itu mulai dari atas hingga bawah. Bagian celana terlihat kotor karena tanah basah. Lalu ketika tatapan ke atas, Aurora mendapati kedua otot tangan pria itu begitu kuat. Ya, pria itu hanya memakai tanktop yang terlihat basah karena keringat.

Glek!

Terdengar Aurora menelan ludah.

"Ada perlu apa kamu ke sini?"

Suara pria itu membuat Aurora sedikit kaget dan membelalakkan mata. Berat, tapi terdengar empuk saat di dengar.

"Hei!"

"Oh iya, maaf." Aurora berkedip dan menggidikkan kepala.

"Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanya pria itu lagi.

"Aku ... em ... aku, hanya ..."

"Pulanglah!" acuh pria itu seraya melangkah menuju halaman rumah.

"Tunggu!" Aurora berbalik, pun dengan pria itu.

"Ada apa?" tanyanya.

Aurora berdengung lagi dan garuk-garuk kepala karena gugup saat hendak ingin bertanya.

Pria itu terdengar mendesah berat. Ia lantas meletakkan kampak dan beberapa peralatan berat yang ia bawa di atas lantai. Dia kemudian duduk dan membiarkan Aurora berdiri dengan rasa bingung.

"Apa kita pernah bertemu?" tanya Aurora akhirnya.

"Tidak."
***

Perfect Man (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang