Chapter 3

1.7K 80 1
                                    

Aurora sudah sampai di ruang makan saat ini. Semua tampak tenang seperti biasanya. Tatapan dingin dari ibu mertua juga susah tidak asing lagi dalam situasi seperti ini.
Ketika semua sudah selesai makan, Jessy berdehem memberi kode bahwa setelah ini akan ada pembicaraan penting. Semua yang ada di ruang makan tentu langsung terkesiap.

"Ada apa?" tanya Arkan heran. Ia lap bibir dengan tisu lalu meneguk sisa minumannya.

Aurora sudah merasa tidak nyaman. Apalagi saat ayah mertua menatapnya sekilas, ini seperti ada sesuatu yang membuat hati tidak enak. Di saat Aurora menoleh ke arah sang suami, Antonio malah terlihat santai dan acuh. Beralih pandangan lagi, kini Aurora mendapati wanita cantik di samping ibu mertuanya tengah tersenyum tipis.

"Aurora."

Degh!

Seketika wajah Aurora terangkat. Panggilan singkat dan pelan itu terdengar seperti sambaran petir.

"Iya, Bu, kenapa?" sahut Aurora.

"Kamu harusnya sudah tahu kenapa keluarga kami mau menikahkan kamu dengan Antonio."

"Apa maksud ibu?" tanya Aurora.

Arkan berkedip cepat dan menyikut lengan Jessy. "Jangan bicarakan masalah itu sekarang."

Jessy berdecak tidak peduli. "Semua harus dibicarakan. Aku tidak mau wanita ini hanya jadi benalu di keluarga kita."

Aurora menoleh ke arah sang suami dan lagi tetap tidak mendapat pengertian. Antonio angkat bahu karena dirinya memang juga belum tahu ke mana arah ibunya bicara.

"Bicaralah yang sopan," hardik Arkan dengan gigi mengeras.

"Ini harus dibicarakan!" tekan Jessy. "Aku tidak mau keluarga ini tidak memiliki keturunan lagi hanya karena wanita itu."

Jleb!

Kalimat itu sungguh kasar. Aurora memang belum bisa memiliki keturunan, tapi bukan berarti kesalahan ini sepenuhnya dibebankan padanya. Mereka tidak tahu hubungan Aurora dengan Antonio tidaklah harmonis. Semua tampak baik-baik saja di luar, tapi tidak dengan di dalam. Antonio seperti enggan menyentuh Aurora. Bukan jijik, tapi seperti tidak ada hasrat.

"Kali ini, semua harus jelas. Aku mau yang terbaik untuk kelangsungan keluarga ini," tekan Jessy lagi. "Tidak boleh ada yang membantah dan biarkan aku menyelesaikannya."

Semua tampak tenang, tapi ada perasaan menegang. Terutama untuk Arkan. Sudah lama ia menutupi semua ini, dan saat ini sang istri akan membahasnya. Arkan hanya takut nantinya Aurora akan tersinggung atau berkecil hati.

Aurora tidak peduli dengan apa yang terjadi nanti. Yang jelas, untuk saat ini ia berharap bisa tenang dan mendengarkan.

"Aurora," panggil Jessy lagi. Tatapan itu membuat Aurora merasa gemetaran.

"Ya, Bu. Katakan saja apa yang ingin ibu katakan," sahut Aurora. "Aku akan dengarkan baik-baik."

Jessy kurang suka dengan reaksi Aurora yang sok tenang. Namun, setelah semua dijelaskan, pasti Aurora tidak akan bisa setenang ini lagi.

"Sudah satu tahun ini kamu menikah dengan Antonio, tapi kenapa belum juga hamil?" tanya Jessy.

Aurora coba tetap menegakkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku sudah berusaha," katanya.

"Kamu jangan menyudutkan Aurora  Istriku," sergah Arkan. "Dalam masalah ini, kamu juga harus tanya pada putramu."

Seketika tatapan Jessy beralih mengarah pada sang suami. "Apa maksud kamu?"

"Semua itu butuh proses, Istriku," kata Arkan lagi. "Bisa jadi selama ini Antonio kurang menjalin hubungan dengan Aurora."

"Apa maksud ayah?" Antonio berdiri. Ia menekan meja dengan kedua telapak tangan, sementara amarah hampir menguasai. "Ayah menyalahkanku?"

Jessy mengedipkan mata, memberi kode supaya Antonio duduk kembali.

"Suamiku, kamu jangan menyudutkan putramu," kata Jessy.

"Dan kamu tidak seharusnya menyudutkan Aurora."

Seketika Jessy terdiam saat kalimat itu terlontar dari mulut sang suami. Namun hanya sesaat karena bukan kebiasaan Jessy jika harus kalah dalam perdebatan.
"Aku tidak menyudutkan Aurora. Tapi aku bicara karena sesuai fakta. Perempuan itu tugasnya mengandung dan melahirkan. Aku jadi curiga kalau Aurora memang mandul."

Jleb!

Sekali lagi Aurora merasakan tusukan yang amat dalam. Hatinya terasa perih mendengar kalimat cemoohan itu. Perlahan, air mata bahkan mulai menitik hingga buliran itu jatuh mengenai punggung telapak tangan yang berada dalam pangkuan.

"Bicaralah yang sopan!" tekan Arkan. "Kalimatmu itu sangat kasar."

Jessy berdiri dan menatap tajam pada sang suami. Dua bola matanya memerah seperti hendak siap membakar apa yang ada di hadapannya.

"Jangan karena keluarga mereka berjasa pada keluarga kita, kita harus berkorban seperti ini," kata Jessy.

Kalimat itu membuat Aurora kembali mengangkat wajah. Kedua alisnya sudah berkerut lalu menoleh ke arah sang suami.
"Sudah aku katakan, jangan bahas masalah ini." Arkan berdiri lalu mencengkeram lengan Jessy dengan kuat. "Hal ini tidak perlu diungkit-ungkit."

Jessy mendecit lalu menarik tangannya dengan cepat. "Demi kelangsungan keluarga ini, semua harus dibicarakan! Aku tidak mau keluarga kita menjadi omongan di luar sana!"

Aurora tiba-tiba berdiri. "Katakan saja apa yang ibu inginkan dariku. Aku akan lakukan."

Jessy menatap Aurora dengan senyum tipis. "Memang sudah seharusnya begitu."

"Bu, coba tenang dulu." Setelah sekian lama, Antonio baru berani bicara. "Aku tidak masalah dengan hal ini."

"Lihat!" Arkan menunjuk ke arah Antonio, sementara matanya tetap lurus pada sang istri. "Kamu tidak usah membesar-besarkan masalah ini. Antonio saja bisa menerimanya."

"Tapi aku tidak bisa!" tekan Jessy. "Aku menginginkan keturunan di rumah ini. Dan jika Aurora tidak bisa mewujudkan semuanya, aku akan menikahkan Antonio dengan Jasmine."

"Apa?" Semua mata tampak membelalak dan bibir terbuka lebar. Mereka begitu terkejut dengan kalimat yang Jessy lontarkan.
Jasmine yang dari tadi hanya menyaksikan perdebatan, terlihat kaget juga. Padahal, sejujurnya dia sudah tahu kalau pembahasannya akan seperti ini. Diam-diam Jasmine tengah tersenyum bahagia di dalam hati.

"Kamu jangan bercanda," kata Arkan. "Pernikahan itu tidak main-main."

"Ibu!" seru Antonio. "Tidak bisa begini. Jasmine sahabatku dari kecil, aku mana mungkin bisa menikahi dia?"

"Ibu tidak akan menikahkan kamu dengan Jasmine, kalau seandainya saja Aurora bisa hamil!" Kalimat penuh penekanan itu berakhir usai Jessy pergi meninggalkan ruang makan.

Kalau sudah begini, itu artinya tidak ada lagi bantahan. Sebagai ratu di rumah ini, memang sepatutnya semua tunduk. Begitulah yang selalu Jessy terapkan.

"Aku permisi." Aurora menundukkan kepala dan pergi menuju belakang rumah.
Sementara Arkan, dia juga sudah pergi menyusul sang istri di dalam kamar.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu akan jadi seperti ini," kata Jasmine dengan nada sesal.

Antonio menghela napas lalu meraup wajahnya dan jatuh terduduk. "Tidak usah dipikirkan. Kamu jangan khawatir karena tidak akan ada pernikahan di antara kita."

Jasmine tersenyum getir. Bukan itu penjelasan yang ia inginkan dari Antonio, melainkan Jasmine berharap Antonio menyetujui rencana ibunya. Sudah lama Jasmine menginginkan hal ini, dan inilah kesempatannya.
***

Perfect Man (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang