Aurora kembali ke rumah dengan perasaan penasaran. Pria itu sepertinya pernah ia lihat sebelumnya, tapi tepatnya di mana, Aurora belum bisa mengingatnya. Ketika sampai di depan pintu belakang, Aurora sudah dihadang oleh sang suami. Wajahnya tampak pias penuh ketidak sukaan.
"Hei," sapa Aurora.
"Dari mana kamu?" tanya Antonio dengan nada menyalak.
"Aku, a-aku dari ..."
"Sudah aku katakan, jangan pergi hanya seorang diri!" Suara Antonio meninggi membuat Aurora terjungkat kaget.
Bentakan itu, seketika menyadarkan Aurora tentang larangannya menuju hutan. Ia teringat kalau memang beberapa kali Antonio memperingatkan Aurora untuk tidak sekali-kali pergi ke hutan apalagi hanya sendirian.
"Astaga! Kenapa aku bisa lupa hal itu?" Aurora membatin penuh keterkejutan.
"Katakan, kamu dari mana?" Antonio kembali bertanya seraya mencengkeram kedua pipi Aurora.
"Sebaiknya aku tidak bicara kalau aku ke hutan." Aurora masih membatin dan coba berpikir mencari jawaban yang tepat.
"Jawab!" Cengkeraman itu terasa semakin kuat.
"Lepaskan dulu, aku kesusahan bicara," pinta Aurora tertahan.
Para pelayan yang ada di sana, sudah menyingkir karena tidak mau ikut campur. Sementara tiga pelayan pribadi Aurora, tetap berdiri tidak jauh dari mereka karena memang pada dasarnya mereka harus bertanggung jawab karena lalai menjaga Nona mudanya.
Ketika cengkeraman sudah terlepas, Aurora menggerakkan rahang ke kiri dan ke kanan. Cengkeraman kuat itu cukup membuatnya merasa sakit.
"Katakan, apa kamu dari hutan?" tanya Antonio.
Aurora menelan ludah lalu berdehem dengan dada sedikit membusung. "Aku tidak pergi ke sana. Aku hanya duduk di ayunan seharian ini."
"Bohong!" hardik Antonio.
"Apa maksud kamu? Aku memang berada di ayunan seharian ini."
"Para pelayan sudah mencari kamu ke sana, tapi kamu tidak ada."
Sekali lagi Aurora menelan ludah. "Tentang itu ... aku, aku hanya ..."
"Apa!" Antonio kembali berseru.
"Aku tidak pergi ke hutan, aku hanya pergi ke kebun. Aku sebentar di sana. Kalau kamu tidak percaya, kamu bisa tanya para pekerja kebun di sana."
Aurora mendesah perlahan hingga tak diketahui Antonio ketika kalimat itu terhenti. Meski takut dan gugup luar biasa, setidaknya Aurora berharap jawabannya bisa dipercaya oleh Antonio.
Antonio maju hingga jarak wajahnya begitu dekat dengan Aurora. Ia tatap mata bulat itu dan menyelusuri apakah ada kebohongan atau tidak di sana. Aurora yang paham, dengan berani membalas tatapan itu hingga membuat Antonio benar-benar yakin.
"Baiklah, kali ini aku maafkan."
Lega rasanya saat Antonio mengatakan hal itu. Setidaknya kali ini Aurora bisa lolos tanpa dicurigai apa pun.
"Tapi ingat!"
Dan seketika Aurora kembali menegang dan terkesiap. "Apa?"
"Sekali lagi aku melihatmu pergi tanpa para pelayan atau pengawal, aku tidak segan-segan membunuhmu."
"A-apa?" Aurora ternganga tidak percaya. Kalimat Antonio terdengar menakutkan menurut Aurora.
Sebelum beranjak pergi, Antonio sempat memberi peringatan pada para pelayan. Tentunya para pelayan hanya bisa mengangguk pasrah.
"Maafkan aku karena membuat kalian dalam masalah," sesal Aurora.
"Tidak apa, Nona, ini risiko kami."
Aurora berjalan menundukkan wajah menuju kamarnya di lantai dua. Sepanjang perjalanan singkat itu, pria yang ia temui di hutan terus saja bergentayangan di otaknya. Dan sampai di dalam kamar, kedua kaki Aurora berjalan menuju balkon. Dia berdiri di sana mengarahkan pandangan pada hutan lebat di area barat istana rumahnya.
Dari atas sini tidak terlihat ada apa saja di sana. Bagian kebun saja hanya terlihat sebagian saja. Dan rumah yang Aurora jumpai, sama sekali tidak tampak karena memang pepohonannya begitu tinggi-tinggi.
"Aku tidak habis pikir dengan keluarga ini," gumam Aurora. "Saking kayanya mereka sampai tanah di sini hampir menjadi milik mereka."
Dulu Aurora pikir rumah orang yang dinikahinya saat ini berada dalam kompleks perkotaan yang mayoritas rumah-rumah mewah berjejeran. Namun, ternyata rumah mewah bak istana ini malah berada jauh dari pemukiman. Hanya ada beberapa rumah di luar gerbang sana.
Lamunan itu kini beralih pada sosok pria yang ia temui di tengah hutan. Ditambah lagi rasa penasaran yang kini muncul karena perintah Antonio yang melarang Aurora pergi ke hutan itu. Memang, binatang buas selalu menjadi alasan. Tapi ... apa benar karena itu?
"Siapa pria tadi?" gumam Aurora. Ia berkedip-kedip dengan kepala miring seraya berpikir.
Sekeras apa pun menebak-nebak, tetap saja Aurora tidak bisa menemukan jawaban tentang pria asing itu.
"Apa dia tetangga?" celetuk Aurora. "Tentu bukan. Rumah itu jelas masih berada dalam kawasan milik ayah mertuaku. Lalu, siapa dia? Pekerja kebun?"
Tok, tok, tok.
Dan lagi, ketukan pada pintu membuyarkan lamunannya.
Aurora berjalan masuk lalu melenggak membukakan pintu. "Siapa?" tanyanya dari dalam.
"Saya, Nona, Beatrice."
Aurora segera membukakan pintu dan terlihat pelayan pribadinya itu tengah berdiri seraya membawa camilan sore. Roti jahe dan segelas susu hangat.
"Mungkin Nona butuh yang hangat-hangat," kata Beatrice.
Aurora tersenyum lantas mengulurkan tangan dengan badan sedikit mencondong untuk mempersilakan Beatrice masuk. Saat iti juga Beatrice mengangguk dan membalas senyuman itu.
"Letakkan saja di atas meja dekat ranjang," kata Aurora.
Beatrice mengangguk.
Aurora duduk di bibir ranjang dengan kaki menyilang. "Aku minta maaf tentang tadi. Kalian jadi kena omelan Antonio."
Beatrice memeluk nampan yang ia bawa lantas duduk di atas lantai beralaskan karpet bulu. "Tidak apa, Nona. Ini salah saya juga."
"Aku hanya kesal karena ibu selalu menuntutku untuk hamil," desah Aurora. "Dia memang sejak awal kurang menyukaiku."
Beatrice tersenyum tipis. "Nyonya besar paling tidak suka dipandang rendah oleh para keluarganya. Beberapa saudaranya sudah banyak memiliki cucu, tapi tidak dengan beliau."
"Apa aku harus mundur?" tanya Aurora.
Tatapan Aurora yang memelas membuat Beatrice jadi iba. "Mungkin Nona hanya harus lebih keras lagi dalam berusaha."
"Sudah aku lakukan. Aku berdandan setiap malam dan memakai piama terbuka. Tapi tetap saja Antonio tidak tertarik. Apa aku sungguh jelek?"
"Tentu saja tidak. Nona sangat cantik. Bukan hanya itu, nona juga baik hati pada setiap orang yang ada di sini."
Aurora terkekeh. "Kamu hanya sedang menenangkanku." Aurora lantas meraih segelas susu hangatnya dan mulai meneguk perlahan.
"Tidak juga." Beatrice angkat kedua bahu lantas menjatuhkan lagi. "Nona sangat sempurna menurutku."
Kali ini tawa Aurora lebih melebar. Obrolan ini setidaknya sedikit mengurangi rasa sedihnya saat ini.
"Oh iya Beatrice." Aurora menghentikan langkah sang pelayan saat sudah hampir di ambang pintu.
"Iya, Nona. Ada apa?"
"Apa kamu tahu siapa saja para pekerja di kebun Tuan Arkan?" tanya Aurora.
"Memangnya kenapa, Nona?"
Apa aku ceritakan semuanya pada Beatrice? Ah, sebaiknya jangan dulu.
"Ah, tidak, tidak. Aku hanya ingin tahu saja. Aku datang ke sana ada sekitar lima belas orang pekerja."
"Memang, Nona. Sebenarnya ada tiga puluh orang, tapi mereka bergantian supaya tidak terlalu lelah."
Aurora hanya membulatkan bibir saja.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Man (TAMAT)
RomanceRate: 21+ Setelah ditinggal kedua orang tuanya, kini Aurora tinggal di rumah mewah milik Tuan Arkan. Dia menjadi menantu di sana, menikah dengan putra kedua dari pasangan Tuan Arkan dan Nyonya Jessy yang bernama Antonio. Pernikahan itu tampak baik-b...