Chapter 6

1.5K 74 0
                                    

Bab 6

Sekitar pukul empat sore Jessy mengajak sang putra makan di sebuah restora  mewah. Ada hal penting yang harus dibicarakan menyangkut Aurora. Sampai di tempat tujuan, mereka memesan ruangan khusus supaya obrolan tidak didengar oleh siapa pun.

"Apa masih tentang kehamilan?" tanya Antonio.

Sang ibu mengangguk. "Tentu saja. Ibu ingin kamu tegas."

Antonio mendesah berat. "Tegas yang bagaimana? Haruskah aku menceraikan Aurora?"

"Jika itu perlu."

"Apa maksud ibu?"

Jessy berdecak lantas memajukan kursi yang ia duduki hingga dada bawah menempel pada bibir meja. "Kamu harus memiliki keturunan untuk mewariskan 80% aset keluarga."

Antonio tersenyum miring. "Aku tahu, tapi ayah tidak mempermasalahkannya untuk saat ini kan? Dan lagi, kalau semua warisan tidak untukku, mau buat siapa? Si bedebah itu! Tidak mungkin!"

"Jangan ungkit anak sialan itu!" Cemooh Jessy. "Tentu dia sudah tidak ada hak mengenai ahli waris."

"Kata siapa?" Antonio tersenyum kecut. "Ibu tahu kalau ayah sangat mencintai putranya itu kan?"

"Jangan membahas hal itu dulu," tepis Jessy. "Sekarang yang terpenting bagaimana caranya supaya Aurora hamil. Kalau dalam satu bulan ini tidak ada hasil, maka pisah."

Antonio menghela napas lagi lalu meraup wajah sebelum kemudian melipat dua tangan di atas meja. "Dengar, apa ibu belum tahu mengenai larangan ayah supaya aku tidak menikah lagi?"

Jessy mengerutkan dahi. "Apa maksud kamu?"

"Bu, ayah pernah bilang padaku untuk tidak menikah lagi apa pun yang terjadi. Itu salah satu syarat supaya aku bisa mewariskan semuanya."

Jessy tampak terkejut. Sebelum bertanya lebih lanjut, obrolan terjeda karena makanan yang mereka pesan sudah datang. Pelayan lantas meletakkan di atas meja dengan rapi sebelum beranjak pergi.

Dan sambil menikmati makanan, obrolan pun kembali berlanjut.

"Katakan dengan serius hal yang tadi," pinta Jessy. "Ibu masih tidak percaya jika ayahmu bilang begitu. Dan lagi, semua kuasa juga sebagian milik kakek. Dia berharap bisa memili cicit."

"Oh, ayolah, Bu. Kakek sudah tiada untuk membahas hal ini. Dia sudah mewasiatkan pada orang kepercayaannya."

Tak!

Satu jitakan sendok mendarat di kening Antonio hingga membuatnya meringis.

"Apa sih, Bu?" dengusnya kesal. "Sakit!"

"Kamu terlalu bodoh!" sembur Jessy.

"Kenapa?"

Jessy menjeda pembicaraan dan memilih mengisi perutnya lebih dulu. Namun, saat mengunyah jelas sekali tatapan matanya tetap tajam lurus mengarah pada Antonio.

"Hei," panggil Jessy kemudian.

Antonio yang tengah mengunyah makanan juga angkat kepala. "Hmmm."

"Kamu tidak mencintai Aurora bukan?"

Uhuk!

Seketika itu Antonio terbatuk karena tersedak makanan yang hendak ia telan. Sebagian makanan pun muncrat ke luar. Untung saja tidak sampai membuat meja berantakan. Dalam reaksi itu, Jessy mendecit hingga satu ujung bibirnya terangkat.

"Kenapa kamu kaget begitu?" cibir Jessy. "Ibu bilang pelan dan lirih."

Antonio meneguk segelas minumannya hingga benar-benar habis. Usai mengelap bibirnya dengan tisu, Antonio kembali menatap sang ibu.

"Kenapa ibu bilang begitu?" tanya Antonio.

Jessy menyeringai. "Kamu masih sering menemui Teresa, kan?"

Antonio mematung dan matanya beberapa detik tidak berkedip. "Apa maksud ibu?" tanyanya kemudian.

"Tidak usah mengelak. Ibu tahu semua tentang kamu. Kamu masih berhubungan dengan mantan kekasih kamu itu. Kamu bahkan sering pergi berdua bersamanya."

Antonio menelan ludah. Ia tidak menyangka kalau selama ini ibunya tahu mengenai hubungannya dengan Teresa. Setiap kali bertemu dengannya, Antonio selalu memastikan tidak ada orang yang akan tahu.

"Bagaimana ibu bisa tahu tentang hal itu?" tanya Antonio gugup.

Jessy tersenyum tipis lantas menusuk kembali daging di atas piring dan memasukkannya ke dalam mulut. "Tenang Antonio, kamu satu-satunya putra kesayangan ibu. Masalah ini hanya ibu yang tahu."

Fiuh! Lega rasanya. Antonio sadar, dari dulu memang ibunya paling mengerti. Hanya saja mungkin kali ini berbeda karena tidak mau seluruh harta warisan jatuh pada orang yang salah.

"Lalu, bagaimana sekarang?" tanya Antonio. "Ibu sudah tahu semuanya. Dan tentunya aku tidak mungkin meninggalkan Teresa."

"Untuk saat ini mungkin aman, tapi kamu harus hati-hati. Jika ada yang tahu, mungkin saja kamu akan diasingkan atau bahkan diusir dari rumah. Keluarga kita paling anti dengan perselingkuhan."

Antonio terdiam seperti tengah berpikir. Satu detik, satu menit hingga bermenit-menit tetap saja tidak menemukan jawabannya.

Berikutnya, Antonio mengehela napas. "Untuk saat ini sebaiknya aku tetap pura-pura dekat dengan Aurora. Mungkin dengan itu ayah akan lebih cepat memberikan kuasa delapan puluh persen itu padaku. Fokus saja dulu pada hal ini."

"Baiklah. Ibu setuju, tapi kamu juga harus berhati-hati. Ini impian kita selama ini."

"Pasti."

***

Mereka sampai di rumah sekitar pukul enam sore. Ketika sudah masuk ke ruang tengah, mereka berdua bertemu dengan Arkan.

"Dari mana kalian?" tanya Arkan penasaran.

"Makan di luar," jawab Jessy santai. Ia memberi kecupan di pipi supaya sang suami tidak terlalu curiga.

"Kalian pergi berdua tanpa mengajak Aurora?" tanya Arkan. "Harusnya dia kalian ajak. Mungkin saja dia butuh udara segar di luar sana."

Antonio dan sang ibu saling pandang. Helas sekali Antonio bingung harus menjawab apa, alhasil Jessy meraih tangan sang suami dan memberi jawaban.

"Kita tidak sengaja bertemu tadi. Benarkan, Antonio?"

"I-iya. Iya begitu." Antonio tampak gugup.

Di saat Arkan hendak bertanya lagi, dengan cepat Jessy mengajaknya pergi masuk ke dalam kamar. "Tidak usah bertanya lagi. Ayo masuk."

Setelah kedua orang tuanya masuk ke dalam kamar, Antonio berlari menaiki tangga dengan cepat. Di ujung tangga, dia tidak sengaja berpapasan dengan Jasmine.

"Antonio? Kamu dari mana?" tanya Jasmine.

"Pergi dengan ibuku," jawab Antonio singkat. "Aku masuk dulu," lanjutnya.

"Antonio, tunggu!"

Panggilan itu tidak dihiraukan oleh Antonio, membuat Jasmine berdecak kesal. Dia sudah berusaha keras merayu Antonio, tapi tetap saja pria itu tidak kunjung tertarik.

Ceklek!

Antonio membuka pintu, membuat seseorang di dalam sana menoleh. Ketika pintu sudah tertutup, kini Antonio melihat sosok wanita tengah berdiri di depan meja rias dengan piama tipis. Lekuk tubuh dan bagian indah di dalamnya sedikit terlihat dan tentunya sangat menggoda.

"Kamu sudah pulang?" tanya Aurora. Ia letakkan sisir di atas meja lalu berjalan mendekat.

"Aku sebaiknya mandi dulu."

Kalimat itu membuat langkah Aurora terhenti. Wajahnya yang semula berseri berubah menjadi kusut dan ada rasa kecewa.

"Apa aku tidak menarik?" gumam Aurora seraya memastikan kembali tampilannya saat ini.

"Sial!" umpat Antonio di dalam kamar mandi. Dia memukul dinding cukup keras hingga siku jarinya memerah.

Antonio kemudian mencondong badan di hadapan cermin. "Sudah lama aku menahan supaya tidak tertarik dengan wanita itu. Tapi sialnya, hampir setiap malam dia berpenampilan seperti itu. Lelaki mana yang tidak akan tertarik? Sialan!"

***

Perfect Man (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang