10. The Day

2.1K 388 51
                                    

Boleh nggak aku minta vote sama komen kalian yang banyak? Biar aku senang. Wkwk

“Saya terima, nikah dan kawinnya Sofie Paramitha binti Angga Sanjaya dengan maskawin seperangkat alat salat dan logam mulia seratus gram dibayar tunai!”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Saya terima, nikah dan kawinnya Sofie Paramitha binti Angga Sanjaya dengan maskawin seperangkat alat salat dan logam mulia seratus gram dibayar tunai!”

Deg!
Deg!
Deg!

Jantungku berdebar sangat sangat kencang. Aku merasa mual karena seluruh tubuhku bereaksi pada apa yang baru saja kudengar. Dalam satu tarikan napas Oliver menyelesaikan kalimat sakral itu. Nggak ada keraguan, nggak ada kata yang salah, dan dia melakukannya jauh lebih baik dari yang aku perkirakan.

"Bagaimana, para saksi? Sah?"

"Sah!"

Ucapan syukur para keluarga terdengar sangat tulus, kebahagiaan mereka bahkan bisa aku rasakan. Di sampingku, Bunda menyeka air matanya, mungkin karena terharu bahwa baru saja putrinya resmi menjadi istri seseorang.

"Pengantin laki-laki dipersilahkan untuk menjemput pengantin wanitanya."

Ucapan MC membuatku kembali tegang. Napasku terasa pendek-pendek saat Oliver berdiri dari kursinya dan tersenyum ke arahku. Kami memang tidak duduk bersebelahan. Sesuai kesepakatan dua keluarga, aku akan menunggu Oliver menyelesaikan ijab qobul di kursi undangan paling depan. Di sisi-sisiku ada Bunda, Mama, Papa, dan tentunya Azmi.

Kini laki-laki itu berjalan mendekat, ditemani seorang anggota keluarga yang membawa mikrofon. Senyum di wajah Oliver tidak menghilang sejak tadi. Dan waktuku terasa terhenti beberapa detik saat dia mengulurkan tangan. Perasaanku kembali berbaur. Laki-laki ini sudah menjadi suamiku, menerima uluran tangannya pun kini tak bisa kutolak. Bukankah begitu?

"Assalamu'alaikum, Istriku."

Jerit bahagia orang-orang tidak tertahankan. Pasalnya, mikrofon itu berada di depan bibir Oliver. Ya sudah pasti kan semua orang mendengar bagaimana manisnya sapaan Oliver barusan.

"Wa'alaikumussalam," jawabku.

Nggak, aku nggak bisa balas sapaannya diikuti embel-embel suamiku. Aduh, geli lho, apalagi di depan banyak orang gini. Tapi biarpun begitu, Oliver kelihatan nggak kecewa, wajahnya masih semringah. Anggota keluarga juga mikirnya aku memang malu, pada nggak segan godain aku soalnya.

Meski terkesan lambat, tapi pada akhirnya jemariku bersentuhan dengan Oliver. Tanganku digenggam erat ketika aku berdiri. Dalam sentuhannya ini pun aku nggak merasakan keraguan. Anehnya, aku merasa bergetar atas interaksi ini. Mungkin karena sebelas tahun lalu adalah kali terakhir kami berpegangan tangan? Mungkin karena orangnya Oliver? Mungkin karena memang nggak ada alasan khusus? Entah, aku nggak paham.

Suasana pagi ini sedikit mendung, panasnya matahari nggak menjadi keluhan untuk kami yang menyelenggarakan acara di ruangan terbuka, tepatnya di halaman belakang. Nggak jadi nikah di KUA? Yups! Pernikahan akhirnya diselenggarakan di rumah yang Oliver nobatkan sebagai istana kami setelah menikah. Karena setelah hari lamaran, Bunda dan Mama rempong ngomongin kalau mending acaranya di rumah, daripada di KUA Dan jadilah rumah ini yang dipakai. Yah, aku mau debat lagi saat itu juga sudah malas. Terserahlah, yang penting keadaan damai.

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang