18. Sweet Warmness (2)

1.5K 276 90
                                    

Boleh minta vote sama komennya yang banyak? Biar aku senang. Wkwkwk.

Wajahku panas karena terus terbayang adegan semalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Wajahku panas karena terus terbayang adegan semalam. Mau malu, tapi juga kesal karena Oliver bertingkah biasa saja setelah melakukannya. Baginya nggak berkesan mungkin, ya? Menyebalkan!

"Hei, ngapain ngelamun?"

Aku tersadar karena pertanyaan Oliver dan tangan kami yang bersentuhan. Refleks kutarik tangan dengan dalih merapikan rambut. Lihat, Oliver tuh juga nggak peka sama bahasa tubuh aku. Nggak ada dia tanya kenapa aku nggak mau dipegang.

Wait. Memang kamu mengharapkan apa, sih, Sofie?!

"Aku tuh mikir kenapa kamu lama banget di kamar mandi. Hampir sejam lho, Olv."

Itu fakta, kok, aku nggak bohong. Aku sering mikir dia ngapain sih lama-lama di kamar mandi. Oliver tuh nggak ngerokok, ke kamar mandi juga nggak bawa HP, jadi pertanyaan besar alasan dia lama-lama di dalam sana. Kalau ada bathtub, aku masih maklum mungkin Oliver suka berendam, sayangnya kami cuma punya shower. Apa iya dia segitunya suka sama air hangat makanya betah lebih dari 30 menit di kamar mandi?

"Mandilah, Sofie. Biar bersih."

"Tapi lama banget. Terus sebelum subuh kamu udah mandi, 'kan? Sekarang baru jam sembilan kamu udah mandi lagi."

"Tadi kan keringetan abis nyapu sama ngepel rumah. Wajarlah mandi lagi."

Nggak, itu nggak wajar. Masalahnya Oliver sehari tuh bisa mandi 4-5 kali, lho. Dia itu nggak ada main di luar, seharian di rumah saja, tapi tetap mandinya ngelebihin jadwal minum obat. Kalau aku nggak sampai selama itu deh.

"Hei, ngelamun lagi. Kenapa? Makin sakit lebamnya?"

Mau maksa Oliver ngaku juga nggak bisa, ya sudahlah ya. Nanti pasti ketahuan deh alasan dia yang sangat menjaga kebersihan ini.

"Sakitnya bakal berkurang kalau dibeliin es krim."

"Oh, jadi Tuan Putri mau es krim? Mau rasa apa? Dua scop rasa sayang? Dua scop rasa ingin memilikimu?"

Nadanya sudah seperti siap melayani tuan putri sungguhan, mimik wajahnya juga sesuai.

"Ih, Oliver ngaco!"

Tapi walaupun begitu aku tertawa karena ke-random-an Oliver. Dia nggak ikut ketawa, hanya tersenyum sambil menatapku. Beberapa detik kami hening dengan pandangan terajut. Rasanya aku ingin tenggelam untuk waktu yang lama di teduhnya kedua mata cokelat Oliver. Ada banyak hal yang ingin aku ketahui darinya, jawaban-jawaban yang sampai sekarang nggak terlalu aku pahami. Seperti kenapa selama bertahun-tahun dia tetap menjaga hati untukku, alasan atas penerimaanku yang nggak sempurna ini untuk jadi istrinya.

"Nggak capek?" tanyaku akhirnya.

"Dalam?"

Oliver mungkin sudah paham maksud pertanyaanku, tapi sengaja membiarkanku memperjelasnya.

"Nunggu aku menunaikan kewajiban sebagai istrimu."

Oliver itu terlalu baik, kadang-kadang ada penyangkalan yang muncul di hatiku bahwa dia akan pergi lagi. Beberapa kali pemikiran kalau semua kehangatan manis ini hanyalah fana. Dan pada akhirnya aku akan menangisi Oliver lagi selama berbulan-bulan. Ya, aku tahu itu adalah pikiran negatif, tapi aku sendiri merasa wajar karena sudah pernah mengalaminya sebelum ini.

Banyak orang bilang aku cantik, mandiri, cocok jadi panutan anak muda karena berhasil merintis usaha. Aku sering bangga karena pujian-pujian itu, karena bagiku itu fakta. Tapi ketika diperistri Oliver, aku merasa bukan siapa-siapa, bukan apa-apa. Aku merasa ada di angka 50, sedangkan Oliver di 99. Jadi inilah salah satu alasan aku belum mau membuka hati sepenuhnya untuk Oliver, alasan aku masih menyangkal debaran gila yang sering muncul karena Oliver. Aku ... takut Oliver membawa hati yang sudah aku berikan, lalu membiarkanku tersungkur dan terjerat nestapa. Maka dari itu, aku berkali-kali bertanya sebelum hari pernikahan apakah dia nggak mau mengubah niatnya. Jawaban Oliver tetap sama, dia hanya ingin aku di sisinya.

"Kamu udah menunaikannya, Sofie."

Aku kaget ketika Oliver menempelkan kedua telapak tangannya di headboard, sehingga aku terkurung. Jarak kami kian terpangkas, embusan napas Oliver sampai terasa mengenai bibirku. Seketika aku menyesal kenapa posisi kami sedang di kasur dan aku sedari tadi bersandar di headboard.

"Setiap hari kamu tampil cantik, senyum ke aku, tidur di sampingku, itu udah bikin aku senang."

Aku tersenyum miris.

"Kita sama-sama tahu bukan itu yang aku maksud, Oliver. Sampai kapan kamu mau nunggu aku? Ini juga berat buat kamu, 'kan?"

"Sabarku masih banyak, Sayang. Kapan pun kamu siap. Lusa, besok, atau bahkan sekarang. Aku siap kalau kamu siap. Menikahi kamu adalah komitmen sampai napas terakhirku. Dan kamu tahu selama sebelas tahun aku udah menjaga keputusan itu."

Aku memejamkan mata ketika Oliver menatapku dengan senyumannya yang hangat.

"Apa aku berdosa karena nggak memenuhi hak kamu?"

"Kamu sendiri tahu jawabannya apa. Iya, 'kan? Aku selalu berdoa biar hatimu cepat terbuka dan pernikahan kita berjalan seperti seharusnya."

Perlahan kubuka mata diiringi helaan napas panjang.

"Kamu nggak punya pilihan selain belajar mencintai aku, Sofie."

Tangan kananku digenggam Oliver, lalu cincin yang tersemat di jari manisku dia mainkan. Tatapannya nggak beralih sama sekali dariku, dia mengunci pandanganku. Aku paham maksud ucapan dan bahasa tubuh Oliver. Kami sudah menikah dan dia nggak akan melepaskan aku.

"Seberapa besar sih perasaanmu ke aku?"

"Kesendirianku selama bertahun-tahun harusnya udah jadi jawaban, Sofie. Masih susah ya buat kamu percaya? Nggak apa-apa, kita pelan-pelan aja."

Lagi, Oliver tersenyum, tapi aku mendadak pening karena tengkukku disentuh dan wajah Oliver mendekat. Selanjutnya aku nggak melihat apa-apa karena mataku tertutup. Gilanya lagi, jantungku seperti mau meledak. Tubuhku bagai tersihir oleh kehangatan tiba-tiba yang Oliver beri. Aku nggak berdaya untuk mendorongnya menjauh dan menghentikan sentuhan penuh debar ini. Lama-lama aku menyadari telah pasrah dalam permainan Oliver dan membiarkan kedua tanganku melingkar di lehernya. Aku menyukai sensasi ketika menyentuh kulitnya yang dingin serta rambutnya yang setengah basah, ditambah aroma segar dari sabun mandi Oliver. Manis. Ini semua sangat manis, sehingga pikiranku nggak terkendali saat ini.

Ingatan rasa tentang saat itu sudah agak memudar, tapi aku yakin walau ini adalah yang kedua untuk kami, rasanya lebih gila, sampai-sampai aku berpikir apakah hari ini adalah waktunya penyerahan diri.

To be continued

Tahu kan mereka ngapain? Nggak usah diperjelas ya? Ya ampun, nulis bagian itu aku deg-degan, karena niat dari awal tulisan ini nggak kotor. Tapi apa sebaiknya di-cut? Maaf ya, aku kebanyakan nulis yang ehem-ehem jadi bingung pas nulis yang bersih.🤣

Ada yang senyum-senyum nih 🤣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ada yang senyum-senyum nih 🤣

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang