"Kenapa Monic nggak datang ke pernikahan kita?"
"Kakak lagi sibuk di Amrik, jadi nggak bisa datang."
Aku mengangguk-angguk, lalu melanjutkan membuka kotak hadiah. Jadi, aku sama Oliver sekarang lagi unboxing hadiah-hadiah yang kami dapat karena awalnya bingung gitu mau ngapain. Terus aku keingat kalau kamar kosong ini kami jadiin tempat penyimpanan barang-barang yang kami dapat pas resepsi. Saat aku ngajakin Oliver, dia juga excited buat bongkar-bongkar hadiah. Berasa banget sih jadinya suasana sebagai pengantin baru.
"Monic nggak marah saat tahu kamu mau nikah?"
"Nggak. Dia kan nggak punya hak buat marah, Sayang, karena di antara kami nggak ada hubungan ke arah romantisme."
Kalau langsung jawab tanpa mikir gitu kemungkinan besarnya memang nggak bohong, sih. Yah, sekarang aku harus ngurangin curiga biar nggak pusing.
"Terus dia nggak ngasih hadiah gitu, Olv? Kan kamu adiknya."
Sebenarnya aku paling nggak suka ngebahas orang lain dalam suatu hubungan. Orang lain yang aku maksud ya kayak mantan, gebetan zaman dulu, dan sejenisnya. Tapi mungkin karena sudah memutuskan untuk percaya sama Oliver dan yakin kalau Monic bukan si pengirim bunga, aku ngerasa ngebicarain tentang wanita itu kayak teman.
"Ada. Aku yang belum sempat bilang sama kamu. Kakak ngasih aku uang saat aku diskusi mau pindah ke Bali karena mau ngelamar seseorang dan menetap di sini kalau lamaranku diterima. Dengan yakinnya Kakak nyuruh aku langsung beli rumah, karena Kakak tahu orang yang mau aku lamar pasti adalah orang yang bikin aku nggak menjalin hubungan sama siapa-siapa selama ini."
Oliver terlihat mau membagi apa pun kisahnya sama aku. Apa ini karena dia memang sudah berkomitmen sejak awal dengan hubungan kami?
"Kakak juga yakin aku akan bisa menikahi perempuan itu, karena aku berjuang sekian tahun salah satunya emang untuk itu. Jadi, tanpa ragu Kakak setuju aku kerja remote dan ngasih aku uang untuk beli rumah. Anggap sebagai hadiah katanya."
Hah? Bentar, bentar. Aku menggeser duduk dan menyingkirkan beberapa kotak supaya lebih dekat dengan Oliver. Dia juga tiba-tiba berhenti beraktivitas dan hanya menatapku.
"Jadi rumah ini dibeli pakai uang dia? Katanya kamu kerja biar bisa ngasih aku rumah ini? Ini sih namanya dikasih minta, Olv."
Kalau dijadiin judul FTV kurang lebih kayak gini nih; Aku Menempati Rumah Pemberian Wanita yang Pernah Menyukai Suamiku.
Keren? Ya nggaklah!
"Nggak, Sayang."
"Ihhh. Kamu yang bilang, Olv."
Apa, sih? Jawabannya plin-plan!
"Kapan aku bilang rumah ini dibeli pakai uang Kakak? Aku kan belum selesai ceritanya."
Daguku dicubit pelan. Gemas kayaknya dia sama aku. Ya, kan dia yang duluan bikin aku nggak sabaran.
"Rumah ini aku beli pakai uang hasil kerjaku. Rumah yang Mama tempati, itu baru uang Kakak. Rencana awalnya, cuma aku yang bakal pindah ke sini. Mama, Papa, Azmi, bakal tetap di Jakarta. Tapi karena dapat rejeki dari Kakak, aku diskusi sama Papa dan yang lainnya soal ikutan pindah. Lebih baik kan berdekatan kalau kondisi memungkinkan. Mereka setuju, ya meski Azmi agak kecewa dan marah."
Oh, gitu. Oke, oke, paham. Tapi artinya uang yang dikasih Monic itu banyak banget, dong? Bisa beli satu rumah, lho! Serius dia sebaik itu?
"Udah, ya? Nggak salah paham lagi, 'kan?"
"Tapi apa itu nggak berlebihan, Olv?"
Aku ikut senang dan merasa luar biasa, tapi pemikiran kalau ada harga yang harus dibayar untuk kebaikan Monic itu tetap ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full of Betony
RomanceDi usianya yang menginjak 28 tahun, Sofie dijodohkan oleh orang tuanya. Gadis itu tak percaya mengalami pemaksaan dalam keluarganya sendiri. Padahal dia sudah punya pacar. Dan yang paling Sofie benci, jodoh pilihan orang tuanya adalah laki-laki yang...