"Kamu baik-baik saja?"
Ah, aku melupakan laki-laki asing ini.
"Ya, thanks."
"Ada yang sakit? Kurasa kamu perlu pergi ke rumah sakit untuk pemeriksaan."
"Nggak perlu."
Karena merasa nggak nyaman berbaring di hadapan laki-laki, aku berniat duduk. Mungkin intuisinya sebagai manusia bekerja sangat cepat, sehingga laki-laki ini menyentuh tengkuk dan tanganku untuk membantuku duduk. Aku deg-degan, bukan karena suka, tapi merasa asing dan aneh saat laki-laki ini melakukan kontak fisik denganku. Dalam sekejap aku membuat gerakan menolak bantuannya dan meminta Rina saja yang membantu.
Nggak ada yang salah dengannya. Penampilan rapi yang bikin enak dilihat, wajah bersih dengan rambut diatur, dan wangi segar yang aku pastikan itu adalah parfumnya. Semua normal, nggak ada alasan buatku merasa nggak nyaman kecuali tentang bagaimana aku harusnya bersikap sebagai seorang wanita yang sudah menikah. Yes, itu hal yang membuatku risih. Kalau salaman saja itu masih normal, tapi kalau sampai pegang-pegang tengkuk, itu sudah nggak wajar. Aku juga jadi teringat kalau tadi dia yang membawaku kemari dan ada rasa sesal di hatiku. Tapi bisa dibilang itu keadaan darurat, 'kan? Bukan aku sengaja mau digendong, kok.
"Mbak Sofie nggak apa-apa? Aku kaget banget tadi, Mbak."
Rina terlihat sangat khawatir. Dia memijat-memijat pelan kedua tanganku.
"Iya, aku nggak apa-apa, kok."
"Yakin? Perlu ke rumah sakit? Saya bisa antar." Laki-laki tadi kembali bertanya.
Khawatir banget kayaknya sama aku, padahal nggak kenal.
"Oh, nggak usah. Suami saya ada di sini kalau saya butuh ke rumah sakit. Makasih tawarannya ...."
Aku sengaja menggantung kalimat, karena agak bingung mau manggil dia siapa.
"Panggil Ray. Nama saya Rayhan."
Tangan kanan Ray terulur. Saat aku hendak membalasnya, Oliver tiba-tiba datang dan berlari sambil memanggil namaku. Lalu yang terjadi selanjutnya membuatku benar-benar syok. Tanganku yang sedikit lagi bersentuhan dengan Ray, digenggam oleh Oliver.
"Bukan mahram, Sofie."
Rina dan anak-anak lain yang berdiri di dekatku terlihat menahan senyum. Sementara itu, Ray mengerutkan alis sambil menarik kembali tangannya yang nggak sempat aku jabat.
"Terima kasih sudah membawa istri saya ke sini. Kalau Anda butuh sesuatu, hubungi saya saja."
Wow! Wow! Itu adalah pengusiran halus ala Oliver yang nggak pernah aku prediksi. Ray yang kayaknya nggak punya pilihan selain menerima kartu nama Oliver, nggak lama kemudian berpamitan pergi. Nggak ada lagi hal yang bisa Ray omongin karena Oliver sudah duluan menghadangnya. Anyway, apa sikap Oliver ini bisa kuartikan sebagai cemburu?
"Gimana rasanya?"
"Hah? Rasanya apa?" Aku bertanya pada Oliver yang duduk di sebelahku.
"Digendong sama cowok tadi."
Muka Oliver kaku dan aku tahu ini cara ngomongnya bukan dia banget. Gimana menjelaskannya, ya? Intinya aku paham kalau Oliver nggak suka membahas laki-laki ataupun perempuan lain di antara kami. Pernah dia bahas Farel atau petualangan cintaku setelah kami terpisah lama? Nggak sama sekali! Suamiku ini ngasih batasan untuk hal yang bisa kami bicarakan. Dan kurasa sekarang cemburu lagi benar-benar menguasainya sampai dia nggak bisa ngontrol diri. Maunya aku godain dengan jawaban yang bikin Oliver kepanasan, tapi dia keburu balik ke mode normal.
"Astaghfirullah. Sadar, Olv, sadar."
Tepatnya entah kenapa, aku senang melihat Oliver yang panik dan cemburu karena aku. Di saat dia bereaksi seperti itu, mau nggak mau aku mengakui ada kilatan musim semi di dadaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Full of Betony
RomanceDi usianya yang menginjak 28 tahun, Sofie dijodohkan oleh orang tuanya. Gadis itu tak percaya mengalami pemaksaan dalam keluarganya sendiri. Padahal dia sudah punya pacar. Dan yang paling Sofie benci, jodoh pilihan orang tuanya adalah laki-laki yang...