"Maaf sudah merepotkan Anda."
Permintaan maafku barusan pasti nggak berarti apa-apa untuknya karena aku sudah telanjur merepotkan. Tapi syukurlah ekspresinya ramah sehingga aku nggak terlalu merasa bersalah sudah melibatkan orang asing dalam permasalahanku dengan Oliver.
"Awalnya saya mau membeli bunga, tapi suatu kehormatan bisa menolong Anda. Mau saya antar ke mana?"
Ke mana, ya? Aku nggak pakai alas kaki, mustahil kalau mau langsung makan di restoran walaupun perut keroncongan gini.
"Emmm. Tidak jauh dari sini ada toko sepatu. Mau mampir?"
Spontan aku menatap Rayhan yang tengah mempertahankan senyum padaku. Ah, peka banget ya dia.
"Boleh."
"Oke."
Nggak sampai lima belas menit kami berhenti di sebuah toko sepatu. Rayhan ikut turun, menemaniku memilih-milih, bahkan ikut memberi komentar. Karena ini keadaan darurat, aku nggak mau berlama-lama di sini. Ada yang pas di kaki dan modelnya cantik, aku langsung bayar. Sudah nggak kepikiran mau nyoba beberapa pasang buat dijadikan perbandingan.
"Look better," komentar Rayhan setelah aku memakai sandal.
Haha iyalah. Tadi itu palingan aku kayak gembel. Nih ya, cuci muka saja aku belum dan parahnya aku baru ingat setelah berada di mobil Rayhan. Untungnya orang asing ini bersikap biasa dan nggak nanya ini itu. Parah bangetlah hari ini.
"Sekarang mau ke mana?" Dia bertanya saat kami beriringan keluar dari toko.
Di depanku ada mobil Rayhan, tadi aku sudah menumpang tanpa tahu malu. Sekarang kurasa waktunya mengakhiri adegan di luar prediksi ini.
"Dari sini saya akan pergi sendiri. Terima kasih banyak sudah menemani dan mau saya repotkan."
Wait! Kenapa wajah Rayhan kelihatan kecewa? Dia mengangguk-angguk pelan, tapi aku bisa merasakan kalau dia kurang suka dengan ideku yang nggak mau lagi numpang sama dia.
"Yakin? Saya bisa antar ke mana saja."
"Sangat yakin. Oh, ya, next time kalau ketemu lagi, nggak usah formal. Oke?"
Aku tersenyum untuk meyakinkan ucapan barusan. Saat ini barulah aku melihat Rayhan tersenyum tulus.
"Oke. See you soon, Sofie."
Aku melambaikan tangan, lalu berjalan menjauhinya.
"Sofie!"
Aku menoleh ke belakang. Rayhan bersandar di pintu mobilnya dengan kedua tangan terlipat di perut. Dia terlihat santai untuk mengatakan hal yang nggak aku perkirakan sebelumnya.
"I can see how much he loves you. Come home, come to him soon. Okay?"
Aku hanya mengangguk dan kembali melanjutkan langkah.
Angin beremus pelan, tapi mampu membuat beberapa helai rambutku bergoyang. Aku menyelipkan rambut ke belakang telinga sambil tetap mengamati sekitar untuk mencari rumah makan. Siang hari yang terik ternyata nggak menyurutkan wisatawan untuk berjalan-jalan. Di tengah keramaian seperti ini aku merasa sendiri. Walau sudah menjauhi Oliver, aku belum sepenuhnya lega karena tahu permasalahan sebenarnya belum selesai.
Detik ini aku merasakan kehampaan luar biasa, apalagi setelah memikirkan ulang perkataan Rayhan. Dia yang orang asing saja bisa tahu bahwa Oliver mencintaiku. Tapi bagaimana denganku? Berkali-kali aku meragukannya, padahal Oliver selalu berusaha membuat aku senang. Kini aku ingin mencari dan memeluk Oliver, tapi egoku mencegah itu. Rasanya aku ingin ditatap secara hangat dengan jemari bertautan, lalu Oliver akan mengatakan bahwa dia menginginkanku selamanya.
Ayah benar, aku belum dewasa. Aku masih seperti anak-anak yang takut duduk untuk membicarakan sesuatu yang membuatku marah. Yang aku tahu hanya protes, mengamuk, tanpa menjelaskan poin yang menyebabkan aku begitu, tanpa aku beri tahu dengan baik bahwa aku nggak menyukai hal itu.
Langkahku terhenti. Entah karena lututku yang lemas atau memang otak yang memberi perintah tanpa alasan pasti, aku berjongkok dan menutup mata dengan kedua tangan. Sedang aku bayangkan kalau Oliver ada di sini dan memelukku, meskipun aku telah menyakitinya tadi.
Aku mau pulang. Aku mau bicara baik-baik sama Oliver. Aku janji akan coba ngerti alasannya. Tapi ... apa dia masih mau bersabar setelah aku bersikap sangat menyebalkan sampai-sampai membicarakan perpisahan?
"Sayang ...."
Air mataku menetes makin banyak. Sepertinya aku mulai gila sampai berhalusinasi Oliver memanggilku barusan.
"Sayang, dilihatin banyak orang. Kita pindah dulu, ya?"
Hah? Pundakku dipegang seseorang. Dan suara barusan ....
Aku segera menoleh ke belakang. Oliver yang juga berjongkok, menyambutku dengan senyumnya yang selalu saja ramah. Nggak peduli jadi tontonan orang-orang, aku malah makin menangis. Lengan kokoh Oliver melingkari tubuhku dan aku memegangnya erat, seolah-olah takut nanti nggak akan pernah lagi merasakan kehangatan ini.
"Hei, hei. Aku di sini. Tenang."
"Kamu kok bisa tahu aku di sini?" Aku bertanya terputus-putus karena masih menangis.
"Nanti aja jelasinnya, ya? Bisa kita pergi dari sini dulu?"
Tanpa aku jawab, Oliver sudah berinisiatif membantuku berdiri. Aku menoleh sekitar. Orang-orang menatapku aneh. Iya, wajar mereka begitu. Dikira aku sudah nggak waras pasti jongkok di trotoar tanpa peduli orang lalu lalang.
"Aduh, cantiknya istriku luntur nanti kalau nangis kayak gini."
Oliver mengeluarkan tisu dari saku celananya, lalu mengeringkan air mataku. Sempat-sempatnya dia ngegoda dengan penampilanku yang nggak jelas gini. Huhuhuhu.
"Ayo, kita ke mobil."
Bibirku berasa ada lemnya, jadi nggak bisa ngilangin. Aku nurut saja diajak jalan sama Oliver. Genggamannya sangat luar biasa, berhasil membuatku merasa aman dan nggak terasingkan di tengah hiruk-pikuk ini. Lalu aku tercengang saat Oliver mengajakku ke parkiran toko sepatu tadi. Mobil suamiku terparkir di sini. Apakah ... ini seperti yang aku pikirkan?
"Iya, ini yang kayak kamu pikirin. Aku ngikutin kamu, parkir di sini, nungguin kamu beli sepatu, jalan di belakangmu, dan menjaga kamu meski kamu nggak lihat. Ini bukan tentang ketidakpercayaan, tapi tentang hati yang nggak tahan melihat pemiliknya pergi dengan kesedihan. Oh, harusnya aku nggak jelasin ini, karena terkadang cinta nggak bisa dikatakan. Tapi aku takut bakal ada salah paham lagi di antara kita."
Oliver menjelaskan setelah memakaikan aku sabuk pengaman. Aku nggak tanya sebelumnya, tapi dia sudah berinisiatif duluan. Nggak ada kata yang bisa aku keluarkan. Niatku bikin dia kesal dengan pergi sama cowok lain, tapi diam-diam dia tetap memastikan keadaanku. Dia bisa saja memaksaku turun dari mobil Rayhan atau menarikku saat keluar dari toko sepatu, Oliver nggak melakukannya karena menghargai keputusanku yang ingin menjauh sementara darinya. Tapi saat sudah berjauhan beneran, malah aku yang kelimpungan. Malu banget, iyaaaa maluuu bangettt! Kenapa dia bisa se-cool ini di waktu bisa saja memarahiku yang nggak tahu diri?
"Hei, Sofie Paramitha, Istriku yang cantik, yang manis. Maafin salahku hari ini, ya? I love you."
Satu kecupan lembut mendarat di pipiku sebelum Oliver menutup pintu dan memutari kap mobil untuk duduk di bangku kemudi.
Oh, well. Aku seperti bisu. Tapi wajahku yang panas dan kuyakin berwarna merah, serta kakiku yang bergerak gelisah pasti sudah jadi tanda untuk Oliver tentang perasaanku saat ini.
Deg-degan gilaaaa!
To be continued
Di mana nyari suami kayak Oliver?🥺
Eh, maap lupa. Author kan udah taken.🤣
KAMU SEDANG MEMBACA
Full of Betony
RomanceDi usianya yang menginjak 28 tahun, Sofie dijodohkan oleh orang tuanya. Gadis itu tak percaya mengalami pemaksaan dalam keluarganya sendiri. Padahal dia sudah punya pacar. Dan yang paling Sofie benci, jodoh pilihan orang tuanya adalah laki-laki yang...