20. Yellow Carnations

1.4K 275 64
                                    

Semua barang sudah masuk ke mobil, sudah dua kali juga aku periksa kelengkapannya tadi, terutama biar skincare dan make-up jangan sampai kelupaan. Aku dan Oliver masing-masing bawa satu koper saja, sepakat bawa pakaian nggak banyak-banyak amat walau kami berencana seminggu ada di Sumatera Barat. Kalau kekurangan pakaian kan bisa beli di sana, biar nggak terlalu ribet bawa banyak koper dari sini.

Sekarang pukul 7.25 pagi, sebentar lagi kami akan berangkat ke bandara. Keluarga kami bilang akan menunggu di sana biar lebih menghemat waktu. Ya ampun! Senang banget akhirnya kesampaian liburan di Padang. Selama ini aku belum sempat mewujudkan impian itu karena Bunda parno naik pesawat. Maraknya berita di TV soal kecelakaan pesawat bikin Bunda enggan menggunakan alat transportasi udara itu. Ayah, sih, nggak ada masalah, tapi mana enak pergi liburan tanpa Bunda.

"Sof, udah siap, 'kan? Jalan, yuk."

Oliver muncul di pintu kamar. Kami beradu tatap dan aku terkesima ketika dia tersenyum. Aduh, mataku tolong! Dia cuma pakai celana kain  berwarna broken white dan kemeja berwarna hijau botol, tapi aku berasa lagi lihat malaikat tampan turun ke bumi dengan pakaian indah yang bahannya nggak ada di bumi. Beneran, deh, dia itu ganteng banget.
Huhuhuhu. Jadi aku tuh memang beruntung ya bisa nikah sama dia?

"Udah siap, kok."

Aku menyimpan ponsel di tas, lalu beranjak dari ranjang. Saat berpapasan di ambang pintu, aku bisa mencium wangi segar dan manis dari tubuh Oliver. Enak banget wanginya, tanpa sadar aku jadi menghentikan langkah biar lamaan menghirupnya.

"Parfum baru, ya? Beda kayaknya sama yang kemarin-kemarin."

"He'em. Suka nggak?"

"Suka. Enak."

Nggak bermaksud mesum, sih, tapi aku memang sengaja mendekatkan wajah ke leher Oliver karena pusat wanginya kayaknya di sana. Eh, tanpa kuduga Oliver meluk pinggangku dan berbisik, "Emang sengaja beli yang baru, biar di hotel nanti kamu nempelin aku terus."

"Apaan, sih?"

Aku segera melepaskan diri dari Oliver dan mendahuluinya berjalan. Di belakangku Oliver pasti senyum-senyum karena tahu aku malu. Paling ahli memang!

Kami naik ke mobil setelah memastikan pagar terkunci. Aku lanjut senyum-senyum, nggak nyangka gitu lho bakalan pergi honeymoon.

"Masya Allah. Kalau senyum cantiknya istriku bisa nembus langit kayaknya."

"Gombal banget, ya, kamu."

Kan aku jadi tambah senyum-senyum jadinya, apalagi Oliver sempat mengusap kepalaku dengan pelan.

"Bismillah. Kita jalan, ya, Sofie."

Oliver baru saja bersiap menarik rem tangan ketika ponselnya yang berada di dasbor berbunyi. Gegas Oliver mengambil ponsel dan raut wajahnya seketika berubah menjadi serius.

"Selamat pagi, Kak."

Oke, jadi dia memutuskan untuk menerima panggilan itu. Mungkin penting banget, ya. Ya sudah, sih, aku main HP saja dulu.

"Astaghfirullah. Kakak di Bali dari kemarin? Kenapa baru ngabarin sekarang?"

Aku tetap bermain ponsel, meski mulai nggak fokus karena tiba-tiba perasaan nggak enak.

"Pak Naldi datang hari ini? Ya Allah. Kenapa baru ngasih tahu, Kak? Kalau Kakak aja yang temui bisa, 'kan?"

Oh, well. Makin curiga ada apa-apa, nih, aku. Kusimpan ponsel di tas, lalu menfokuskan pandangan pada Oliver yang kelihatan resah banget. Siapa, sih, yang telpon? Siapa juga Pak Naldi itu? Jadi pengen tahu kan aku.

Full of BetonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang