SAH?

1.2K 67 5
                                    


"SAH!"

Air mataku luruh bersama doa dan ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh Kang Amar. Suara merdunya membuat seisi ruangan berlinang air mata dan menghipnotis puluhan hati di sana.

Umi memelukku erat seakan tak ingin melepasku, putri semata wayangnya yang kini telah menjadi tanggung jawab orang. Semua yang ada di sana ikut serta menyumbangkan air mata terhanyut oleh suasana yang tercipta.
Umi dan Bude Tutik mengapit lenganku menuju ruang tamu.

Pemuda dengan balutan setelan jas hitam dan kalung melati yang melingkar di lehernya kini menatapku takjub tak berkedip. Dia melayangkan senyum kepadaku.

Kusambut uluran tangan Kang Amar, lalu menciumnya dengan takzim. Bagaimanapun dia kini adalah suamiku, imamku, penuntunku. Kata Umi, suami itu garwo, sigarane nyowo yaitu separuh nyawa.

Diletakkan tangan kirinya di atas ubun-ubunku setelah membaca basmalah, Kang Amar berdoa, "Allahumma baarik fii ahli wa baarik li ahlii fii ."

Aku duduk bersama Kang Amar untuk menandatangani berkas-berkas. Rasa haru menyeruak saat kami sungkem dengan Abah dan Umi, juga Embah Putri yang turut serta menyaksikan pernikahan cucu semata wayangnya.

"Maafkan saya, Bu Nyai. Saya belum mapan dan mempunyai pekerjaan.

Namun, saya janji akan membahagiakan Ning Ishma," ucap Kang Amar sambil tertunduk dipangkuan Umi seraya mencium punggung tangan Umi berkali-kali.

Umi menepuk pundak Kang Amar sembari berkata lirih, "Tidak usah risau perihal rejeki'Dan kawinlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.

Jika mereka miskin,Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.' Coba dibuka lagi qur'ane surah An-nur ayat 32."

"Njih, Bu Nyai. Matursuwun."

Ketika sungkem kepada Embah, beliau mengecup kening kami bergantian seraya memberikan wejangan secara singkat.

"Di dalam rumah tangga pastilah nanti banyak ujian. Jangan menyelesaikan segala sesuatu dengan emosi. Suami istri yang bertengkar, rezekinya akan terhambat selama 40 hari. Amar iki bocah solih , Ish.

Meskipun dia bukan anak kiai, kamu wajib menghormatinya. Bau surga pun takkan tercium oleh seorang istri yang suka meninggikan suara kepada suami. Ingat, Ish. Bau surga saja haram, apalagi masuk ke dalamnya."

"Embah nggak bisa kasih apa-apa, Ish, Mar. Setelah ini pergilah untuk menunaikan ibadah umroh." Aku dan Kang Amar saling pandang seakan tak percaya apa yang dikatakan Embah Putri.

"Dua minggu lagi tinggal berangkat. Berdoalah di tanah suci agar kalian menjadi pasangan dunia akhirat yang penuh dengan keberkahan," imbuh Embah.

Kang Amar berkali-kali mengucap terima kasih kepada Embah yang begitu baik hati menghadiahi kami umroh. Beliau adalah orang yang paling kusayang setelah Umi dan Abah. Tak pernah sungkan dan pelit memberikan apa saja kepada cucu-cucunya.

Para kerabat dan para kiai pun mengucap selamat dan doa untuk keberkahan pernikahan kami.

"Beneran, nih, nggak nyesel dapet kang ndalem?" bisik seseorang ditelingaku. Siapa lagi yang bisa berkata semaunya kalau bukan Kang Heri. Jika ditanya siapa kerabatku yang paling menjengkelkan, tentu saja dia Kang Heri.

"Tak doain sampean nanti bakal nikah sama Mbak Aniq." Sudah tersiar kabar dari dahulu jika Mbak Aniq yang merupakan mbak ndalem menaruh hati pada Kang Heri.

"Nggak bakalan, nggak level," ucap Kang Heri cengengesan sambil buru-buru berlalu dari hadapanku yang siap melayangkan tinju.
Resepsi akan dilaksanakan seminggu kemudian.

Bagaimanapun segala sesuatunya perlu dipersiapkan. Itu permintaan Umi, tak rela jika putri semata wayangnya harus menikah ala kadarnya. Abah setuju saja karena tujuan beliau memang yang penting sah dulu. Selanjutnya, Kang Amar menarik tanganku menuju teras depan untuk menyalami para tamu.Sikapnya membuatku terperangah, dalam sekejap wajahku memerah menahan desiran dalam dada.

"Sampean lelah?" tanya Kang Amar tiba-tiba sambil menatap dalam kedua mataku.

"Tidak, Kang, hanya sedikit pusing."
"Istirahat saja di kamar, nanti aku menyusul," bisiknya sambil mengusap punggung tanganku lembut, membuatku kembali merasakan desiran aneh.

Aku pun mengikuti perintah Kang Amar untuk istirahat di kamar. Nafis mengantarkanku menuju kamar, sementara Kang Amar masih bercengkerama denga para tamu.

Ketika hendak menaiki anak tangga, aku tak sengaja mendengar dialog para santriwati yang sedang bergosip tentangku dan Kang Amar. Beberapa dari mereka menyayangkan ketika aku harus menikah dengan kang ndalem dan beberapa juga mendukung pernikahanku.

Aku membuang napas kasar mendengar celoteh tak berarti mereka. Nafis mengusap punggungku, tahu kiniaku sedikit tersinggung. Tak mengapa, yang penting mereka masih tak tahu perihal kasus surat cinta Kang Amar dan nama Latifa. Sesampainya di kamar, Nafis memintaku mandi air hangat dan ia meninggalkanku sendiri di kamar.

Selesai membersihkan diri, aku mengenakan gamis seadanya. Gamis berwarna peach dengan khimar senada. Agar tak terlalu tegang, kuambil mushaf lalu menderas. Sudah pukul 12 malam, masih saja mataku tak kunjung terpejam, ditambah suara riuh para tamu dan santri di lantai bawah.

Aku tersentak saat mendengar seseorang mengetuk pintu kamar.
"Assalamualaikum." Suara Kang Amar kini membuatku kebat-kebit, lalu kuembuskan napas berkali-kali sebelum membuka pintu.

"Wa'alaikumsalam."

Suara pintu berderit ketika terbuka, tampak seseorang berdiri gagah dengan seutas senyum manis di bibirnya. Wajah lelaki yang kini telah sah menjadi imamku benar-benar membuatku terpana. Hidung bangir, alis tebal, dagunya yang sedikit terbelah,dan mata tajamnya sangat pas dalam bingkai wajahnya yang tegas. Segera kuraih punggung tangannya dengan kecupan hangat setelah ia menutup pintu kamar. Ia pun kembali mengucapkan doa keberkahan pengantin dengan meletakkan tangan kirinya di atas ubun-ubunku.

Dia menatapku lekat seraya menyunggingkan senyum, setelah itu melepas jas hitamnya, meletakkan asal di atas kursi depan meja rias. Menghampiriku yang masih terpaku di samping ranjang.

"Sampean kalau tidur juga pakai jilbab, Ning?"

"Hem?"

Perlahan senyum simpul timbul di bibirnya sembari menatap lekat diriku yang kini sudah tak mengenakan khimar. Tampaklah rambut hitam legam sebahu tergerai indah, membuatnya semakin terpesona.

"Cantik," pujinya dengan tersenyum.Sedang aku tertunduk malu.

"Mas mau mandi dulu."

"Mas?" sebutan inilah yang membuatku geli.

"Ya, masa sudah jadi suami manggilnya Kang?" protesnya dengan wajah sok polos, membuatku tak bisa lagi menahan tawa.

"Udah, sana mandi."

"Udah nggak sabar, ya, Ning?"
godanya sambil mengerlingkan mata.

"Baumu sudah terkontaminasi. Bau asap rokok, minyak kasturi, minyak hajar aswad, minyak malaikat subuh jadi satu," sanggahku sambil melempar handuk ke arahnya.

Sang lawan malah menatap tajam sambil terus mendekat berniat menggodaku. Namun, pintu tergedor sedikit keras hingga kami tersentak, lalu bersamaan menoleh ke arah suara.

"Ishma." Umi memanggil cemas.Kang Amar tersenyum, sedangkan aku masih melongo. Kembali terdengar suara Umi yang memanggilku.
"Iya, Umi, sebe-" belum sempat aku membuka pintu, buru-buru Kang Amar menutup mulutku dengan tangan kanannya, sedangkan lengan kirinya masih mencengkeram erat pinggangku. Netra kami bertemu lagi hingga beberapa detik, membuat hatiku luruh sempurna oleh sihir matanya yang menatap intens.

"Ada yang menunggumu, cepat turun." Kini suara Umi terdengar khawatir.

Bersambung

Maaf lama hiatusnya, Kakak.

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang