Asung Pandonga

573 43 3
                                    

Meskipun aku diam tenang bagai ikan, tapi aku gelisah pula bagai ombak dalam lautan.

(Jalaludin Rumi)

------------------------

Sudah tiga hari sosok yang diam-diam selalu menyelinap dalam mimpi itu tak kunjung pulang. Iya, Kang Amar berkali-kali hadir di alam mimpi setelah salat Istikharah. Meski pun dalam mimpi itu hanya bisa kutatap punggungnya, aku yakin punggung itu milik Kang Amar. Instingku cukup kuat dalam mengenal seseorang meski pun dari belakang.

Sudah kucoba membicarakan arti mimpiku itu pada Umi, tapi wanita yang paling kucintai itu selalu mendahului dengan keyakinannya tentang mimpi buku diary Kiai Hasan. 

"Pokoknya Umi tetep milih Rosyid jadi mantu Umi.

Sudah jelas dalam mimpi itu Umi lihat Kiai Hasan memegang diary tua pemberian seorang kiai juga." 

Jika sudah membahas tentang Kiai Mustofa, ujung-ujungnya pembahasan pasti berubah tegang. Lagi-lagi aku hanya bisa diam. Mana mungkin ada yang berani melawan dan membantah Umi. 

Lesu, kumatikan layar ponsel setelah berkali-kali membuka akun media sosial. Berharap keajaiban ada pesan dari Kang Amar. Konyol. Aku merasa seperti pungguk yang merindukan bulan Bagaimana mungkin Kang ndalem itu berani mengirimiku pesan. Tak mungkin juga aku merendahkan diriku sebagai wanita jika harus mengirim pesan terlebih dahulu. Meskipun hanya bertanya kapan ia akan kembali. 

Kulihat dari jendela kaca, semilir angin menerpa dahan-dahan. Di tanganku ada Alqur’an, tapi pikiranku malah sibuk memikirkan kapan Kang Amar datang. Astaghfirullah. 

Ingin sekali kutanyakan pada Abah berapa hari sebe-narnya Kang Amar izin ke Lasem. Karena seingatku, santri yang izin menghadiri pernikahan hanya diper-bolehkan satu hari satu malam.

 Apa mungkin karena yang punya hajat adalah kiai Kang Amar yang dulu, sehingga Abah memberinya izin hingga berhari-hari? Ah, entahlah. 

Saat netra berpura-pura mengamati dedaunan bidara di luar jendela sana, layar ponsel kembali me-nyala. Fara tak lelah mengirim foto kakaknya. Mungkin misinya agar hatiku luluh lalu jatuh cinta mengetahui segudang kelebihan yang dimiliki Gus Rosyid. 

Gus Rosyid, kenapa pula Gus yang tampangnya lumayan itu mau saja dijodohkan denganku. Kenapa pula ia langsung jatuh cinta saat pertama kali melihat fotoku yang dikirim Pakde Njamil. 

Sederet pesan manja ala Fara terpampang di layar ponselku. Rupanya dia juga berjuang mendapatkan hati uminya agar bisa bersanding dengan Kang Amar.

Pesan itu hanya kubaca. Sudah kuduga detik kemudian Fara akan menyerangku dengan pesan bertubi-tubi sampai aku menulis sebuah balasan untuknya. Lalu, dia akan memberikan emot senyum lebar dan berkata bahwa aku memang calon kakak ipar idaman. Menurutku dia memuji begitu karena tak ingin kalau-kalau aku mencintai pemuda lain selain Gus Rosyid. Apalagi jika pemuda itu adalah Kang Amar. Dia hanya ingin wanita bernama Ishma hanya bisa dimiliki oleh kakaknya. 

Tiba-tiba aku penasaran, bagaimana reaksi Fara jika dia tahu apa yang sebenarnya terjadi antara aku dan Kang Amar. Curahan hati Kang Amar pada secarik kertas yang ditemukan keamanan itu buktinya jika dia menaruh hati padaku. 

            ☘️☘️☘️

Waktu menunjukkan pukul 11 malam, namun mata tak kunjung terpejam. Kedua netra kembali menerobos mengamati pohon bidara yang tampak grembuyung dari luar jendela sambil membuka mushaf, mendaras dan mentadaburinya. 

Selain pohon sawo, pohon bidara ini masih setia membuat rindang halaman samping pesantren. Mulanya pohon bidara ini sengaja ditanam sebagai obat karena dulu banyak sekali santri yang kesurupan dan terkena gangguan sihir. 

Kang Amar Cinta Sang Abdi Ndalem (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang